Inilah Penjelasan Jahiliyah Modern
MEDIAMU.COM - Jahiliyah modern merupakan istilah yang kian sering dibicarakan ketika menyoroti perilaku dan pemikiran masyarakat yang dianggap jauh dari nilai-nilai Islam. Jika pada masa pra-Islam di Jazirah Arab, istilah “jahiliyah” merujuk pada masa kegelapan sebelum turunnya wahyu Al-Qur’an, maka dalam konteks saat ini, istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang meskipun telah maju secara teknologi, tetap terperosok ke dalam pola hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam. Munculnya fenomena ini tidak terlepas dari menguatnya pengaruh sekularisme, materialisme, serta pergeseran nilai spiritual yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam kehidupan seorang Muslim.
Banyak ulama kontemporer menyoroti bahwa jahiliyah modern tidak berarti menolak kemajuan peradaban, melainkan menegaskan perlunya mengharmoniskan antara kemajuan teknologi dengan etika Islam. Jika kemajuan tersebut tidak diimbangi oleh landasan akidah yang kokoh, masyarakat berpotensi kehilangan arah dan mengalami dekadensi moral. Di sinilah pentingnya memahami arti dan ruang lingkup istilah “jahiliyah modern” agar kita dapat merumuskan solusi dan langkah efektif untuk mencegah dampak buruknya.
Lebih lanjut, kemunculan jahiliyah modern juga dapat dilihat sebagai bentuk peringatan bahwa kemajuan fisik dan intelektual tidak selalu berbanding lurus dengan kemajuan spiritual. Hal ini terefleksi dalam pola hidup konsumtif, praktik riba dalam ekonomi, serta pergaulan bebas yang mengabaikan batasan syariat. Bahkan, adanya fenomena ini menguatkan pesan Al-Qur’an yang menyeru manusia untuk senantiasa kembali kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
(“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa…”) (QS. Ali ‘Imran [3]: 102)
Dalam menghadapi era globalisasi yang serba cepat, umat Islam diharapkan mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern dengan pedoman syariat, sehingga kemajuan yang dicapai tidak menjerumuskan pada pola hidup yang justru menjauhi akhlak mulia. Pemahaman pendahuluan ini menjadi titik tolak penting untuk menggali lebih dalam definisi, sejarah, dan relevansi konsep jahiliyah modern bagi kehidupan kita saat ini.
Definisi Jahiliyah Modern
Istilah jahiliyah modern merujuk pada kondisi masyarakat yang menampilkan gejala keterasingan dari nilai-nilai Islam, meskipun hidup di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara etimologis, “jahiliyah” berasal dari kata “jahala” yang berarti ketidaktahuan. Pada masa pra-Islam, masyarakat Arab dikenal tidak hanya karena kurangnya ilmu agama, tetapi juga praktik sosial yang berlawanan dengan prinsip tauhid. Kini, meski zaman telah berubah, konsep ketidaktahuan itu bertransformasi menjadi penolakan halus atau pengabaian yang disengaja terhadap ajaran Islam dalam tatanan kehidupan modern.
Dalam perspektif beberapa pemikir Muslim, jahiliyah modern tidak selalu berarti ketiadaan pengetahuan, melainkan ketiadaan penerapan akhlak dan syariat secara menyeluruh. Ketika manusia lebih mementingkan kecanggihan teknologi dan status sosial, tanpa memperhatikan landasan keimanan, maka nilai-nilai spiritual pun terpinggirkan. Hal ini terlihat dari maraknya sikap individualistis, materialisme, dan gaya hidup serba instan yang kerap melalaikan prinsip keadilan serta tanggung jawab moral.
Meskipun kemajuan sains mampu memberikan banyak kemudahan, ia juga dapat menjadi bumerang jika masyarakat terlena dengan hawa nafsu dan kesenangan dunia. Sebagaimana peringatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah harta dan kekuasaan:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
("Setiap umat memiliki cobaan, dan cobaan umatku adalah harta.") (HR. Tirmidzi)
Karena itu, definisi jahiliyah modern bisa dipahami sebagai situasi di mana umat Islam kehilangan atau meremehkan pedoman Ilahi dalam membangun peradaban. Kondisi ini menuntut peninjauan ulang terhadap cara pandang kita terhadap dunia. Seiring dengan tuntutan globalisasi, umat Muslim perlu memperkuat landasan spiritualnya agar kemajuan yang diraih tidak sebatas pada aspek teknologi dan ekonomi semata, melainkan juga pada integritas moral. Dengan demikian, definisi jahiliyah modern menyiratkan bahwa tantangan umat Islam di era saat ini jauh lebih kompleks karena menyangkut integrasi antara iman, ilmu, dan amal dalam menghadapi derasnya arus perubahan.
Latar Belakang dan Sejarah Istilah Jahiliyah
Pada masa pra-Islam, suku-suku Arab hidup dalam tatanan sosial yang cenderung keras, penuh pertikaian, dan kurang mengindahkan norma-norma keadilan. Istilah jahiliyah disematkan untuk menggambarkan masa tersebut karena minimnya kesadaran spiritual, yang berujung pada kejahatan sosial seperti penindasan kaum lemah, peperangan antarsuku, dan praktik kesyirikan. Kehadiran Islam dengan risalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa perubahan drastis. Masyarakat yang sebelumnya terjebak dalam kebobrokan moral perlahan-lahan menemukan cahaya hidayah yang menuntun mereka pada akhlak yang lebih luhur.
Seiring berjalannya waktu, para ulama dan cendekiawan Muslim mempelajari periode pra-Islam ini dan mengaitkannya dengan kondisi yang bisa muncul kembali dalam bentuk baru. Setelah peradaban Muslim berkembang, semangat keilmuan dan penegakan syariat sempat mencapai puncak keemasan. Namun, ketika arus modernisasi merambah ke dunia Islam, sebagian masyarakat mulai memisahkan nilai agama dari urusan duniawi, hingga muncullah istilah jahiliyah modern yang dikenalkan oleh beberapa pemikir Islam kontemporer, seperti Sayyid Qutb. Ia mengkritik sistem sosial dan politik yang dinilai meniru pola barat tanpa memperhatikan norma Islam.
Landasan istilah ini pun makin kuat ketika melihat realitas bahwa meski dunia Muslim kini memiliki akses pendidikan yang luas, banyak individu tergerus oleh konsumerisme, sekularisme, dan perilaku yang jauh dari syariat. Dalil tentang bahayanya meninggalkan petunjuk Allah dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ
("Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya.") (QS. Ali ‘Imran [3]: 85)
Melalui penelusuran sejarah ini, kita memahami bahwa istilah jahiliyah pada mulanya menandai ketiadaan hidayah dan dominasi kemungkaran. Dalam perkembangannya, istilah tersebut digunakan secara kontekstual untuk menyoroti gejala serupa yang dapat muncul kembali jika prinsip Islam diabaikan. Oleh sebab itu, mempelajari latar belakang dan sejarah istilah jahiliyah membantu kita menyadari betapa pentingnya menjaga nilai-nilai Islam di era modern agar tak terjatuh ke jurang kebodohan spiritual.
Pemikiran Kontemporer tentang Jahiliyah Modern
Gagasan mengenai jahiliyah modern banyak dipengaruhi oleh pemikiran ulama dan intelektual Islam yang memandang bahwa meskipun manusia kini lebih maju dalam sains dan teknologi, tidak sedikit yang melupakan tanggung jawab religiusnya. Pemikiran kontemporer ini tumbuh subur karena semakin banyak bukti nyata tentang menurunnya kualitas moral di berbagai bidang, mulai dari politik, ekonomi, hingga sosial kemasyarakatan. Beberapa tokoh, seperti Sayyid Qutb, menekankan bahwa sistem kehidupan yang menepikan hukum Allah sejatinya mengembalikan manusia pada kondisi jahiliyah versi baru.
Menurut pandangan ini, peradaban modern kerap menonjolkan aspek materialisme tanpa menyeimbangkannya dengan prinsip spiritual. Sekularisme yang berlebihan memisahkan agama dari ranah publik, sehingga nilai-nilai Islam tidak lagi menjadi penuntun bagi kebijakan dan perilaku masyarakat. Hal ini tampak dalam maraknya praktik riba yang melegitimasi ketidakadilan, budaya hedonisme yang mengikis kepedulian sosial, hingga eksploitasi lingkungan yang mengabaikan amanah manusia sebagai khalifah di bumi. Para pemikir kontemporer menilai bahwa semua gejala tersebut adalah ciri-ciri jahiliyah modern, sekaligus menjadi bukti bahwa kemajuan teknologi tidak otomatis menjamin kemajuan akhlak.
Di sisi lain, pemikiran ini juga menawarkan jalan keluar berupa kembali pada aturan Al-Qur’an dan sunnah Nabi, seperti yang tercermin dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
("Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.") (QS. Ali ‘Imran [3]: 19)
Ayat tersebut mengingatkan umat Islam bahwa Islam bukan sekadar identitas, melainkan pedoman hidup yang menyeluruh. Dengan menempatkan syariat sebagai landasan, diharapkan setiap aspek kehidupan—mulai dari politik hingga budaya—dapat berkontribusi pada terciptanya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Pemikiran kontemporer ini sekaligus menantang kita agar tidak sekadar berpegang pada tradisi masa lalu, tetapi juga memanfaatkan keunggulan modernisasi untuk memperkuat dakwah Islam dan mewujudkan peradaban yang selaras antara duniawi dan ukhrawi.
Karakteristik Jahiliyah Modern
Karakteristik jahiliyah modern kerap ditandai dengan munculnya berbagai pola perilaku dan sistem sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pertama, materialisme dan konsumerisme berlebihan menjadi sorotan utama. Masyarakat yang terjebak dalam budaya konsumtif cenderung mengejar harta dan status sosial semata, sehingga nilai spiritual dan moral sering terabaikan. Kedua, penurunan moral dan etika menjelma dalam bentuk hedonisme, pornografi, serta penyalahgunaan narkoba. Fenomena ini memunculkan kekosongan makna hidup karena jiwa tidak terpenuhi oleh ibadah dan zikir kepada Allah.
Ketiga, sekularisme berlebihan berperan dalam memisahkan agama dari ranah publik. Akibatnya, aturan Islam kerap dianggap tidak relevan dengan urusan negara, hukum, atau perekonomian, padahal Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Keempat, ketidakadilan sosial menjadi karakteristik lain jahiliyah modern yang mencolok. Ketimpangan distribusi kekayaan, eksploitasi buruh, dan korupsi struktural adalah contoh nyata bagaimana etika Islam tentang keadilan diabaikan. Dalam situasi seperti ini, kelompok rentan semakin termarjinalkan.
Dalil Al-Qur’an yang mengingatkan pentingnya keadilan dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ
("Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan.") (QS. An-Nisa [4]: 135)
Ciri-ciri tersebut memperlihatkan bahwa jahiliyah modern bukan semata-mata kebodohan akan pengetahuan agama, melainkan ketidakpedulian terhadap esensi Islam sebagai pedoman hidup. Di tengah derasnya arus informasi, banyak orang lebih memilih gaya hidup instan dan mengutamakan kepentingan diri sendiri. Untuk keluar dari kondisi ini, diperlukan upaya kolektif dalam membangun kesadaran spiritual, menegakkan sistem sosial yang adil, dan mengintegrasikan prinsip Islam dalam setiap sektor kehidupan. Dengan demikian, karakteristik jahiliyah modern menjadi acuan bagi umat Islam untuk segera berbenah dan kembali menjadikan iman serta akhlak sebagai pilar utama peradaban.
Kontroversi Penggunaan Istilah Jahiliyah Modern
Istilah jahiliyah modern tidak luput dari kontroversi. Sebagian kalangan menganggap bahwa istilah ini terkesan merendahkan masyarakat modern seolah-olah seluruh kemajuan yang diraih manusia sia-sia. Mereka berpendapat bahwa banyak pencapaian positif di era modern, seperti penemuan ilmiah, perkembangan teknologi medis, dan keterbukaan informasi yang sejatinya membawa manfaat besar bagi umat manusia. Dengan demikian, menyebut kondisi saat ini sebagai jahiliyah dianggap tidak adil dan menimbulkan kesan negatif.
Namun, para pendukung istilah jahiliyah modern menegaskan bahwa penggunaan frasa tersebut bukan untuk menolak seluruh bentuk kemajuan, melainkan sebagai peringatan atas lunturnya nilai-nilai Islam di dalam dinamika kehidupan kontemporer. Mereka berargumen bahwa secanggih apa pun pengetahuan manusia, jika tidak berlandaskan akidah dan akhlak yang benar, maka akan menimbulkan kerusakan moral. Persis seperti yang ditekankan dalam Al-Qur’an:
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَكُنتُم مِّنَ الْخَاسِرِينَ
("Dan kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya kamu termasuk orang-orang yang merugi.") (QS. Al-Baqarah [2]: 64)
Kontroversi semakin tajam ketika istilah ini dibawa ke ranah politik. Ada pihak yang memakainya untuk mengkritik pemerintah atau sistem tertentu, hingga muncul anggapan bahwa istilah tersebut dimanfaatkan sebagai “label” untuk membenarkan tindakan radikalisme. Di sisi lain, kritik sosial dari istilah ini bisa menjadi sarana introspeksi bersama, bahwa kemajuan material harus berjalan seiring dengan penegakan tauhid dan akhlak mulia. Pada akhirnya, kontroversi ini menggambarkan adanya benturan pemahaman: satu pihak menilai istilah ini menafikan pencapaian sains dan teknologi, sedangkan pihak lain melihatnya sebagai bentuk dakwah untuk membangkitkan kesadaran bahwa kemajuan sejati ialah yang berlandaskan syariat Allah. Oleh karenanya, pemahaman yang proporsional dan terbuka terhadap berbagai dimensi istilah jahiliyah modern menjadi krusial, agar diskusi ini melahirkan kesadaran positif dalam mengupayakan peradaban yang seimbang antara fisik dan ruhani.
Mengatasi dan Mencegah Jahiliyah Modern
Untuk mengatasi dan mencegah jahiliyah modern, langkah pertama yang harus ditempuh adalah meningkatkan pemahaman agama sejak dini. Melalui pendidikan Islam yang komprehensif, generasi muda dibekali dengan akidah yang kokoh dan akhlak mulia, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh arus sekularisme dan materialisme. Di tingkat keluarga, orang tua menjadi teladan dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam, mulai dari ibadah harian hingga interaksi sosial. Keluarga yang harmonis akan membentuk karakter kuat dalam menghadapi pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan syariat.
Selanjutnya, kolaborasi antara lembaga keagamaan, pemerintah, dan masyarakat luas menjadi kunci utama. Pemerintah dapat berperan dengan menerapkan kebijakan yang berkeadilan, memfasilitasi program pemberdayaan ekonomi umat, serta menegakkan hukum yang berlandaskan prinsip keadilan. Lembaga keagamaan berfungsi memberikan bimbingan spiritual melalui ceramah, kajian rutin, dan dakwah yang relevan dengan tantangan era globalisasi. Sementara masyarakat secara umum dituntut untuk aktif dalam kegiatan sosial yang menumbuhkan empati dan solidaritas, sehingga dapat menekan laju individualisme yang sering muncul sebagai ciri jahiliyah modern.
Selain itu, pemanfaatan teknologi perlu diarahkan pada hal-hal positif. Platform media sosial dan sumber informasi digital seharusnya dimanfaatkan untuk menyebarkan dakwah kreatif, inspiratif, dan edukatif. Sebagai contoh, penyebaran ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi dalam format yang menarik mampu mengedukasi khalayak tentang pentingnya nilai-nilai Islam. Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
("Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah…") (QS. An-Nahl [16]: 125)
Memadukan upaya peningkatan keimanan dan moralitas dengan inovasi teknologi akan menciptakan harmoni antara kemajuan duniawi dan kehidupan spiritual. Dengan demikian, upaya mengatasi dan mencegah jahiliyah modern bukanlah tugas satu pihak semata, melainkan tanggung jawab bersama. Sinergi berbagai elemen umat akan membawa kita pada peradaban yang lebih unggul, di mana iman dan amal shaleh menjadi pondasi utama untuk menggapai rahmat Allah.
Kesimpulan
Dari keseluruhan uraian di atas, jelaslah bahwa jahiliyah modern bukan sekadar istilah negatif untuk mencela perkembangan zaman, melainkan sebuah konsep yang mengingatkan umat Islam agar tidak terjerumus dalam sikap dan pola hidup yang menjauh dari tuntunan Ilahi. Meski dunia saat ini dipenuhi aneka inovasi dan kemajuan pesat, penegasan nilai-nilai Islam tetaplah krusial. Dalam konteks sejarah, kita telah mempelajari bahwa istilah jahiliyah pada masa pra-Islam menggambarkan ketiadaan hidayah dan dominasi perilaku yang menyimpang. Kini, hal tersebut bisa terulang dalam bentuk materialisme, sekularisme, hedonisme, dan ketidakadilan sosial apabila prinsip Islam diabaikan.
Kontroversi penggunaan istilah jahiliyah modern justru menegaskan perlunya dialog terbuka. Sebagian pihak mengkritik penggunaannya karena dianggap menafikan capaian positif peradaban modern. Namun, apabila dipahami secara tepat, istilah ini bertujuan untuk mendorong kesadaran kolektif bahwa kemajuan sejati bukan hanya soal teknologi dan ekonomi, tetapi juga berkaitan erat dengan keadilan, akhlak, dan ketakwaan. Dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis Nabi menunjukkan betapa pentingnya menempatkan Allah sebagai pusat kehidupan dan menyeimbangkan aspek duniawi dengan dimensi ukhrawi.
Dengan demikian, tanggung jawab untuk mencegah dan mengatasi jahiliyah modern tidak dapat dilepaskan dari peran aktif semua elemen masyarakat. Melalui pendidikan yang komprehensif, kebijakan publik yang adil, dakwah kreatif, serta penguatan jati diri umat, Islam dapat tampil sebagai solusi dalam menjawab tantangan zaman. Hasil akhirnya adalah lahirnya generasi yang cerdas secara intelektual dan spiritual, mampu mengoptimalkan kemajuan era global, namun tetap berakar pada prinsip ketuhanan. Inilah hakikat peradaban Islam yang diidealkan, di mana segala aspek kehidupan—baik sosial, politik, maupun ekonomi—dilandasi oleh nilai-nilai moral yang universal, menjadikan umat manusia beruntung di dunia dan di akhirat.
Ingin memperdalam pemahaman tentang jahiliyah modern dan bagaimana prinsip Islam dapat diimplementasikan di era global?
Kunjungi MediaMu.com sekarang dan dapatkan artikel serta wawasan Islami terbaru yang akan membantu Anda menyikapi berbagai tantangan zaman.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow