Inilah dan Penjelasan Larangan Menyebut Sayyidina
MEDIAMU.COM - Kata “Sayyidina” berasal dari bahasa Arab, yaitu سَيِّدُنَا yang berarti “tuan kami” atau “pemimpin kami”. Dalam konteks Islam, penyebutan “Sayyidina” biasanya ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan kepada beliau. Meskipun penggunaan gelar ini sering ditemui dalam praktik keagamaan, masih ada kontroversi seputar penyebutan Sayyidina di kalangan umat Islam. Beberapa kelompok menyatakan bahwa larangan menyebut Sayyidina didasarkan pada kekhawatiran akan ghuluw (pengagungan berlebihan) terhadap Nabi, sedangkan kelompok lain justru menekankan pentingnya memuliakan Rasulullah ﷺ dengan sebutan tersebut.
Secara historis, asal-usul penggunaan kata “Sayyidina” dapat ditelusuri melalui kebiasaan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang selalu menempatkan Nabi Muhammad ﷺ pada derajat paling tinggi. Tradisi ini juga diperkuat oleh budaya di berbagai wilayah Muslim, misalnya di Timur Tengah dan Asia Tenggara, di mana umat Islam terbiasa menggunakan gelar-gelar kehormatan untuk tokoh agama. Sebutan “Sayyidina” juga sering dijumpai dalam literatur klasik, puji-pujian, shalawat, dan teks-teks keagamaan yang memuliakan Nabi.
Walaupun demikian, muncul pendapat dari sebagian ulama yang menafsirkan hadis tertentu sebagai peringatan agar tidak berlebihan dalam memuji Nabi. Sebagai contoh, terdapat hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
(“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani memuji Isa putra Maryam.”)
Hadis ini kemudian ditafsirkan oleh sebagian kalangan sebagai peringatan untuk menjaga tauhid dengan tidak menambahkan gelar-gelar tertentu. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa penggunaan kata “Sayyidina” tetap diperbolehkan karena maknanya yang sekadar menunjukkan rasa hormat, bukan menempatkan Nabi di sisi ketuhanan. Dengan demikian, asal-usul kata “Sayyidina” memang erat kaitannya dengan kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad ﷺ, walau praktiknya masih menyisakan polemik terkait batas penghormatan dan kekhawatiran terhadap pengagungan yang berlebihan.
Dalil-Dalil Terkait dan Perbedaan Penafsiran
Perdebatan tentang larangan menyebut Sayyidina sering kali mengacu pada dalil-dalil hadis dan tafsir ayat Al-Qur’an yang beragam. Di satu sisi, ada dalil yang dijadikan landasan untuk memperbolehkan penggunaan kata “Sayyidina”, di sisi lain terdapat penafsiran yang menitikberatkan pada keharusan menjaga tauhid murni dan menghindari ghuluw (berlebihan) dalam memuji Nabi. Salah satu dalil yang kerap dikutip untuk membolehkan gelar kehormatan ini adalah hadits mengenai shalawat. Dalam shalawat Ibrahimiyah, umat Islam diimbau untuk memuliakan Nabi, sebagaimana disebutkan:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ…
(“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad…”)
Walau tidak secara eksplisit menyebutkan kata “Sayyidina”, penggunaan gelar tambahan seperti “Sayyidina Muhammad” dipandang sebagai wujud cinta dan penghormatan lebih. Menurut mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali, menambahkan kata “Sayyidina” tidak bertentangan dengan prinsip tauhid karena Rasulullah ﷺ tetap diakui sebagai hamba Allah.
Di sisi lain, pihak yang menolak atau membatasi penggunaan kata “Sayyidina” sering merujuk pada beberapa riwayat yang menyebutkan agar umat Islam tidak mengagungkan Nabi secara berlebihan. Salah satunya adalah hadis yang berbunyi:
قُولُوا بِعُبُودِيَّتِهِ وَرِسَالَتِهِ
(“Katakanlah (sebutlah aku) sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya.”)
Hadis ini dimaknai sebagai bentuk penegasan bahwa kedudukan Nabi Muhammad ﷺ adalah hamba Allah yang diutus, sehingga tambahan gelar lain dikhawatirkan menimbulkan persepsi berlebihan. Meski demikian, mayoritas ahli tafsir dan ulama kontemporer menilai dalil ini tidak serta-merta melarang penambahan kata “Sayyidina”, melainkan menekankan agar umat tidak meletakkan Nabi pada posisi ketuhanan. Alhasil, kontroversi seputar penyebutan Sayyidina terletak pada ranah interpretasi dalil, bukan pada larangan mutlak.
Pandangan Ulama dan Mazhab Mengenai “Sayyidina”
Dalam polemik larangan menyebut Sayyidina, penting untuk memahami bagaimana para ulama dan mazhab berpendapat. Mayoritas mazhab Sunni—seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali—membolehkan penggunaan “Sayyidina” sebagai bentuk penghormatan bagi Nabi Muhammad ﷺ. Mereka menegaskan bahwa menambahkan gelar ini tidak sama dengan menempatkan beliau sebagai sosok yang bersekutu dengan Allah. Justru, langkah ini dinilai sebagai penanda cinta dan takzim kepada Rasul, sebagaimana difatwakan oleh banyak ulama klasik dan kontemporer.
Mazhab Syafi’i, misalnya, menekankan pentingnya adab dan rasa hormat dalam menyebut nama Nabi. Hal ini tercermin dalam praktik membaca shalawat, di mana kata “Sayyidina” sering disisipkan sebelum menyebut “Muhammad”. Demikian pula, mazhab Maliki dan Hanafi umumnya tidak mempersoalkan penambahan gelar kehormatan ini karena dianggap sebagai warisan tradisi keilmuan Islam yang menempatkan Nabi pada kedudukan tertinggi di antara manusia. Bahkan, beberapa ulama berpendapat bahwa tidak ada yang salah selama penggunaannya bertujuan menumbuhkan rasa cinta, bukan pengkultusan.
Sementara itu, kalangan tertentu yang dekat dengan pemikiran Salafi atau yang sangat menekankan pemurnian tauhid memilih untuk tidak menggunakan “Sayyidina”. Mereka menganggap bahwa kebiasaan penambahan gelar bisa menimbulkan bibit-bibit syirik atau setidaknya mengarah pada sikap ghuluw. Pendapat ini didasarkan pada hadis-hadis yang menekankan kehati-hatian dalam memuji Nabi, salah satunya:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
(“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani memuji Isa putra Maryam.”)
Oleh karena itu, pemahaman dan sikap umat Islam beragam. Mayoritas memperbolehkan bahkan menganjurkan, sementara segelintir lainnya memilih abstain. Dalam praktiknya, hal ini menciptakan dinamika di lapangan, yang semestinya disikapi dengan saling menghormati perbedaan demi menjaga kerukunan umat.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Polemik
Kontroversi seputar penyebutan Sayyidina tidak hanya didorong oleh perbedaan penafsiran dalil, tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang memperuncing polemik. Pertama, adanya perbedaan latar belakang keilmuan di kalangan ulama. Beberapa ulama fokus pada pendekatan tekstual dan menekankan ketatnya penegakan tauhid, sementara ulama lain lebih condong pada pendekatan kontekstual dengan menilai niat dan maksud pengguna ketika menyebut “Sayyidina”.
Kedua, variasi budaya berperan dalam membentuk tradisi keagamaan. Di berbagai wilayah seperti Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah, gelar kehormatan bagi Nabi Muhammad ﷺ sudah menjadi bagian dari budaya lokal. Masyarakat sering menambahkan kata “Sayyidina” dalam doa, ceramah, dan kegiatan keagamaan lainnya sebagai bentuk kecintaan. Bagi mereka, menghapus kata ini seolah menghilangkan tradisi turun-temurun yang sudah mengakar kuat.
Ketiga, pengaruh literatur dan media sosial. Saat ini, banyak kajian keislaman yang tersebar luas melalui platform digital. Setiap kelompok dapat menyebarkan pendapatnya masing-masing, sehingga perbedaan kian mudah terlihat dan diperbincangkan. Materi-materi kajian yang menekankan larangan menyebut Sayyidina akan bertemu dengan konten dari kalangan ulama yang justru menegaskan kebolehan. Hal ini menciptakan ruang diskusi yang luas dan kadang memunculkan konflik di tengah masyarakat.
Keempat, ada pula faktor kepemimpinan agama dan politik. Di beberapa komunitas, pendapat seorang ustaz atau tokoh agama yang disegani bisa memengaruhi cara masyarakat bersikap. Jika pemimpinnya menganjurkan agar menghindari “Sayyidina,” maka masyarakat cenderung mengikuti. Sebaliknya, jika pemimpin agama menekankan pentingnya menyebut “Sayyidina,” maka mereka cenderung melestarikan kebiasaan tersebut. Semua ini membentuk dinamika unik dalam praktik keagamaan, menimbulkan polemik, dan menuntut kedewasaan umat dalam menyikapi perbedaan.
Dampak Terhadap Keharmonisan Umat Islam
Polemik larangan menyebut Sayyidina memiliki implikasi yang lebih luas bagi keharmonisan umat Islam. Pada tingkat personal, perbedaan pendapat ini mungkin sekadar menimbulkan diskusi hangat di antara sahabat atau anggota keluarga. Namun, dalam skala yang lebih besar, ketidaksepahaman tentang hukum menyebut “Sayyidina” bisa memicu perdebatan berkepanjangan yang berpotensi memecah belah umat. Sebagian orang merasa bahwa menambahkan “Sayyidina” adalah sebuah keharusan sebagai wujud cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ, sementara yang lain khawatir hal ini menimbulkan kesan kultus berlebihan.
Selain itu, kontroversi seputar penyebutan Sayyidina juga mencerminkan ketegangan antara kelompok yang lebih tradisional dan kelompok yang berorientasi pada pemurnian tauhid. Tidak jarang, diskusi ini melebar ke isu-isu lain seperti perbedaan mazhab, metode dakwah, serta persoalan fikih yang tak kunjung usai. Jika masing-masing pihak tidak mengedepankan sikap tasamuh (toleransi) dan saling menghargai, konflik kecil semacam ini bisa berkembang menjadi pertikaian yang lebih besar dan berlarut-larut.
Di dunia maya, perdebatan tentang larangan menyebut Sayyidina juga dapat memperuncing perpecahan. Masing-masing pihak sering memproduksi konten-konten digital—baik berupa video ceramah, artikel blog, maupun status media sosial—yang menegaskan pendapatnya. Tanpa literasi digital yang memadai, umat Islam bisa mudah terprovokasi dan meruncingkan pertentangan internal. Akhirnya, energi yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk berdakwah dan membangun persatuan justru habis untuk memperdebatkan perkara ini.
Dengan demikian, dampak dari isu larangan menyebut Sayyidina terhadap keharmonisan umat Islam tidak boleh diremehkan. Perlu ada dialog terbuka dan bimbingan ulama secara bijak, agar perbedaan ini tidak menyulut perpecahan yang merugikan persaudaraan Islam.
Kesimpulan
Setelah menelaah berbagai aspek, dapat disimpulkan bahwa kontroversi atau “larangan menyebut Sayyidina” sesungguhnya berakar pada beragam penafsiran dalil serta kekhawatiran akan sikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Muhammad ﷺ. Mayoritas mazhab dan ulama membolehkan bahkan menganjurkan penyebutan “Sayyidina” karena dipandang sebagai bentuk penghormatan yang wajar. Mereka memaknai hadis-hadis tentang larangan berlebihan dalam memuji Nabi sebagai peringatan agar umat tidak tergelincir pada penyekutuan Allah, bukan melarang sama sekali penggunaan gelar kehormatan.
Di sisi lain, segelintir kelompok lebih memilih membatasi atau bahkan menghindari penambahan “Sayyidina” demi menjaga ketelitian tauhid. Mereka berpegang pada hadis-hadis yang menegaskan bahwa Nabi ﷺ sebaiknya disebut sebagai “hamba dan utusan Allah” saja. Perbedaan ini semakin kuat karena adanya faktor-faktor eksternal seperti tradisi lokal, pendekatan keilmuan, serta pengaruh literatur digital yang beragam.
Meski demikian, polemik penyebutan Sayyidina seharusnya tidak menjadi pemicu perpecahan. Umat Islam justru diharapkan bisa saling memahami keberagaman pendapat ulama. Dalam Islam, perbedaan yang tidak menyentuh ranah ushul (pokok akidah) seharusnya dapat diakomodasi dengan lapang dada. Selama tidak mengandung unsur syirik dan niatnya hanya memuliakan Nabi, penggunaan kata “Sayyidina” bisa diterima sebagai amalan yang bersifat furu’iyah (cabang). Oleh karena itu, sikap bijak adalah menghormati setiap argumen dan menghindari sikap saling menyalahkan.
Dengan memprioritaskan persatuan dan toleransi, isu mengenai larangan menyebut Sayyidina dapat dikelola secara produktif. Umat Islam sebaiknya mengutamakan sikap saling menghormati dan fokus pada hal-hal yang lebih fundamental dalam agama, seperti memperkuat keimanan, meluruskan niat, serta meneladani akhlak mulia Nabi Muhammad ﷺ dalam kehidupan sehari-hari.
Masih penasaran dengan pembahasan seputar larangan menyebut “Sayyidina” dan ingin mengetahui sudut pandang ulama dari berbagai mazhab?
Kunjungi Mediamu.com sekarang untuk mendapatkan ulasan lengkap, dalil-dalil pendukung, serta artikel-artikel Islami lainnya yang tak kalah menarik!
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow