Melarang Mudik Harusnya Tidak Seperti Akan Berperang
Oleh: Heru Prasetya *)
Mirip suasana perang. Seluruh jalan penghubung dicegat aparat gabungan. Jika ada yang lewat ditanya ini itu. Ujung-ujungnya disuruh putar balik, kecuali yang memenuhi syarat khusus. Jika tetap ada yang nekat akan dikenai pasal hukuman. Sudah disiapkan titik-titik penghadangan. Melihat persiapannya, menunjukkan situasi dan kondisi yang benar-benar gawat bin darurat.
Persiapan tentang itu disiarkan secara massif oleh media massa mainstream maupun sosial media. Sehingga langsung atau tidak langsung secara cepat dengan mudah terpublikasi ke seluruh penjuru negeri.
Namanya juga rakyat, selalu saja mencari celah untuk “melanggar hukum” meski tujuannya bukan melanggar hukum, bukan juga kriminal dan berbuat onar. Sekadar berkreasi agar tujuan dan keinginan tercapai. Apa respon masyarakat umum? Pergunakan jalan tikus. Jalan tikus adalah jalan-jalan kecil, bahkan mungkin jalan desa, yang bisa dilalui.
Seakan tahu yang dipikirkan rakyat, aparat tak kurang sigap. Menurut pemberitaan, aparat juga akan mencegat pergerakan kaum mudikun di jalan-jalan tikus. “Kami sudah tahu jalan-jalan tikus yang biasa dilalui dan kami sudah siapkan penghadangan di situ.” Penulis lupa siapa yang menyampaikan, tapi pernah melihat dan mendengar di sebuah stasiun televisi.
Segala macam angkutan dan kendaraan bermotor dilarang beroperasi. Pesawat terbang, kapal penyeberangan, kereta api, bus umum, kendaraan pribadi, bahkan sampai sepeda motor. Sekali lagi, siapa yang nekat melanggar akan ditindak secara hukum, kecuali yang memenuhi syarat khusus.
Perang? Jelas bukan, karena negeri kita Republik Indonesia sedang dalam keadaan aman dan tenteram. Tidak ada informasi akan adanya peperangan, baik berhadapan dengan negara lain maupun maupun dengan rakyat sendiri.
Persiapan yang mirip suasana perang itu untuk menghadapi arus mudik liburan ‘Idul Fithri 1442 Hijriyah atau tahun 2021 ini. Dimana-mana dicegat oleh aparat gabungan. Sehingga muncul pendapat arus bawah: petugas versus para pemudik.
Penulis ingat dua tahun lalu dan sebelum-sebelumnya, para pemudik disambut bak pahlawan di kampung halamannya. Bahkan beberapa tempat secara khusus memasang spanduk “Selamat Datang Para Pemudik”. Untuk pemudik dari daerah atau negara tertentu disebut sebagai “Pahlawan Devisa”. Pemberitaan media massa juga menyebut adanya uang beredar sampai milyaran rupiah ketika para pemudik datang di kampung halaman.
Bagaimana penyambutan aparat ketika itu? Disiapkan pos-pos keamanan untuk membantu para pemudik. Juga disiapkan pos-pos kesehatan oleh instansi negara maupun swasta. Malah ada yang secara khusus melayani tambal ban 24 jam secara gratis. Gerbong kereta api ditambah, bus ditambah, jadwal penerbangan ditambah, pelayaran ditambah, dan lain-lain. Benar-benar masa emas bagi pemudik.
Segalanya memang berubah, setidaknya mulai tahun 2020. Penyebaran virus Corona menjadi penyebab utama, setidaknya itu yang muncul dalam pemberitaan. Karena masyarakat umum seperti kita hanya bisa membaca dari yang terpublish, di balik itu tidak tahu sama sekali. Pemerintah tidak mau terjadi penyebaran virus gelombang berikutnya terjadi.
Beberapa negara lain mengalami serangan gelombang kedua atau bahkan ketiga dari virus ini. Jumlah korban semakin banyak dan fasilitas kesehatan semakin tidak mampu menampung. Penanganan juga semakin rumit dan njlimet. Indonesia tidak mau hal seperti itu terjadi disini.
Bagi penulis, pelarangan mudik Lebaran tahun ini adalah keputusan terlambat. Ketika diketahui munculnya penyebaran Corona tahun lalu saat itu juga bisa dibuat keputusan cepat untuk melarang mobilisasi baik dalam negeri maupun masuknya orang dari negara lain. Dengan alasan ekonomi tahun lalu hal itu tidak dilakukan.
Baiklah kita tidak perlu mengungkit kesalahan masa lalu. Niat melarang mudik demi meminimalisasi penyebaran virus corona mestinya juga diikuti dengan tegasnya aparat menindak adanya kerumunan di berbagai tempat dan oleh siapapun. Jika itu tidak dilakukan hanya akan memperoleh cibiran dan menjadi preseden bagi yang lain untuk melakukan hal sama.
Saya melihat video dari sosial media yang memperlihatan aparat secara “tegas” membentak-bentak seseorang yang mengadakan hajatan pengantin tanpa koordinasi dengan aparat berwenang, seperti satgas covid dan kepolisian. Tindakan tegas seperti ini bagus, sayangnya pada saat yang hampir bersamaan ada hajatan pengantin dan acara lain yang memungkinkan terjadinya kerumuman massa tidak ada tindakan sama.
Melawan corona memang harus tegas, tidak boleh setengah-setengah. Harus menyeluruh, tidak boleh sebagian-sebagian. Harus utuh, tidak boleh krowak. Karena Corona bisa masuk, meski hanya melalui lubang kecil sekalipun.
Upaya menakut-nakuti itu bagus karena akan menjadi shock therapy, tapi itu tidak bisa jalan sendiri karena bisa kontra produktif, akan muncul antipasti dari rakyat yang keinginannya terganjal. Perlu pendekatan persuasif yang melibatkan banyak kalangan. Perlu memunculkan kesadaran masyarakat bahwa persoalan utama bukan pada mudik atau tidak mudik, tetapi bagaimana bisa menjaga protokol kesehatan anti-Covid secara ketat. Menumbuhkan kesadaran dan pemahaman di seluruh lapisan masyarakat bahwa menjaga kesehatan itu lebih utama dibandingkan mudik.
Merangkul banyak kalangan, bukan hanya buzzer, ini penting karena masyarakat sudah telanjur terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan, baik itu kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Jika upaya merangkul tidak dilakukan makan akan muncul pendapat bahwa larangan mudik itu untuk kepentingan lu bukan kepentingan gue.
Mari jaga kesehatan kita dan keluarga, selalu lawan-Covid-19, dan selamat menjalankan ibadah Ramadhan. (*)
*) Heru Prasetya; Pemimpin Redaksi mediamu.com
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow