Tirai Pemikiran 7: Wara’ dan Zuhud
Oleh: Robby H. Abror *)
Pada awalnya manusia terlalu larut menikmati kehidupan yang serba mubah itu sehingga terjebak dalam sikap hidup yang berlebih-lebihan. Karena takut terjerumus pada hal-hal yang haram, kemudian mengambil sikap wara’. Wara’ ialah menepis segala hal yang syubhat (perkara yang samar hukumnya) karena takut terjerumus dalam keharaman.
Wara’ setidaknya dapat dibagi tiga tingkatan. Pertama, wara’nya orang awam dengan meninggalkan yang syubhat agar tidak ternodai oleh dosa-dosa. Kedua, wara’nya orang khawwash yang menepis segala yang mengotori hati dan dari pikiran yang mengacaukannya. Ketiga, wara’nya orang khawwashul khawwash yang ditempati ahli makrifat (‘arif), yakni menolak segala ketergantungan dan menutup pintu harapan kepada selain Allah, sehingga hati selalu terjaga dari semua yang melalaikan, melenakan diri dan melupakan al-Haqq. Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu (HR Tirmidzi). Kebajikan ialah budi pekerti yang baik, adapun dosa adalah apa yang meresahkan hatimu dan engkau enggan orang lain mengetahuinya (HR Muslim). Jadilah orang yang wara’, niscaya akan menjadi manusia yang paling taat ibadahnya (HR Ibnu Majah). Wara’ tidak lain adalah ibadah yang paling tinggi derajatnya.
Seorang ‘arif meneladani Nabi saw karena kecintaannya kepada al-Haqq dan menikmati manisnya iman dalam ketakwaannya. Dalam Thabaqat al-Shufiyyah, Abu Abdurrahmah al-Sullami menyitir pernyataan Syah al-Karmani, bahwa wara’ dengan menjauhi syubhat itu tanda takwa, sedangkan takut (khauf) itu tanda kesedihan dan bersungguh-sungguh dalam ketaatan pada al-Haqq adalah tanda harapan (raja’).
Dari sikap wara’ inilah seorang sufi lalu dikenal sebagai sosok yang gemar menyendiri, menjauhi keramaian atau pergaulan, pakaiannya serba sederhana, hidupnya tidak lain untuk ketaatan yang sungguh-sungguh kepada Allah swt dan pulang ke kampung akhirat. Tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui (QS al-Ankabut: 64). Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah orang yang asing dan seorang pengembara (HR Bukhari). Dunia adalah penjaranya seorang mukmin dan surganya orang kafir (HR Muslim). Selain diidentikkan dengan sikap wara’, seorang sufi juga identik dengan sikap zuhud.
Istilah zuhud (zuhd)ini berasal dari kata zahada, artinya menahan diri dari sesuatu yang aslinya berhukum mubah dan menepis perbuatan yang dampaknya makruh. Zuhud sebagai salah satu sikap ketaatan kepada Allah swt, yaitu dengan menjauhkan diri atau berpantang dari segala sesuatu yang bersifat duniawi bahkan terkadang dari yang diperbolehkan (mubah) karena khawatir terjerumus dalam kesesatan, melanggar batas dan berlebih-lebihan. Berzuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan berzuhudlah engkau terhadap apa-apa yang ada pada manusia, niscaya mereka akan mencintaimu (HR Ibnu Majah). Zuhud kerap disamakan dengan asketisme yang menerbitkan sikap kefakiran (faqir)dalam diri seorang ‘arif. Hamba yang faqir berarti dalam dirinya telah tertancap rasa bangga sebagai seorang sufi yang selalu dekat dan bergantung hanya kepada Allah swt. Hamba yang faqir menganggap dunia kecil dan meninggalkan segala yang menyibukkan dirinya dari Allah.
Zuhudnya para ahli makrifat (‘arifin) tercermin dari kosongnya hati dari jeratan duniawi agar tidak terhalang dari mengingat Allah, tetapi tidak berlepas tangan dengan kewajiban di dunia ini. Seorang Zahid tidak meninggalkan dunia dari tangannya, sementara ia ada di hatinya. Sebaliknya, ia meninggalkan dunia dari hatinya, sementara ia ada di tangannya.Pernah dikisahkan bahwa Ibnu ‘Arabi pernah hidup dalam kondisi kemewahan kendatipun tetap dalam sikap wara’ dan zuhud, hingga sebelum meninggalkan kota Murcia, Spanyol ia menyedekahkan rumah mewahnya. Zuhudnya ahli makrifat adalah membiarkan tangan seorang ‘arif sibuk dalam urusan dunia dan membiarkan hatinya sibuk dalam mengingat Allah. Baginya, dunia adalah ladang akhirat dan jalan menuju kebahagiaan puncak.
Dalam kitab Mi’raj al-Tashawwuf ila Haqa’iq al-Tashawwuf Ahmad Ibnu Ujaibah menjelaskan,
Zuhudnya orang awam adalah meninggalkan apa-apa yang lebih dari kebutuhan. Zuhudnya orang khawwash adalah meninggalkan apa-apa yang menyibukkan diri dari mendekatkan diri kepada Allah dalam semua keadaan. Zuhudnya orang khawwashul khawwash adalah menjauhi pandangan kepada selain Allah di setiap waktu. Zuhud adalah sebab untuk sampai kepada Allah, karena hati tidak akan sampai kepada-Nya jika masih bergantung pada sesuatu selain yang dicintai Allah.
*) Ketua MPI PWM DIY, Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow