Tirai Pemikiran 4: Syari’at, Tarikat dan Hakikat
Oleh: Robby H. Abror *)
Untuk mencapai puncak makrifat dalam dunia tasawuf, seorang salik meniti jejak Tuhan melalui tiga tahap, yaitu syari’at (syari’ah), tarikat (thariqah) dan hakikat (haqiqah). Syari’at itu ibarat kendaraan, tarikat adalah jalannya, dan hakikat adalah tujuan perjalanannya. Salik adalah seorang pejalan, lebih khusus lagi, seorang sufi dan zahid yang melakukan perjalanan spiritual (suluk) dan hamba Allah yang tekun beribadah kepada-Nya dengan senantiasa menaati dan menunaikan syari’at.
Syari’at adalah upaya dan realisasi dari ketaatan hamba Allah dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jalan terang yang menjadi basis praksis ubudiyah (ibadah) dan pondasi tasawuf yang mengandung aturan-aturan hukum, ajaran Islam secara formal yang mengarahkan akhlak dalam bermuamalah dan kehidupan lahiriah lebih teratur, lurus dan disiplin. Pendakian stasiun-stasiun (maqamat) dan keadaan-keadaan jiwa (ahwal) dalam tasawuf wajib dijalani melalui syari’at. Mengabaikan syari’at dapat menjerumuskan seseorang pada sifat munafik dan merasa diri sudah sufi (mustashwifin) padahal penuh kepalsuan. Kewajiban melaksanakan syari’at menjadi syarat mutlak dalam mencapai hakikat.
Dalam kepatuhannya menjalankan perintah-perintah syari’at, seorang sufi menapaki tarikat, yakni menempuh jalan spiritual menuju hakikat. Tarikat adalah jalan kecil (path), suluk, jalan spiritual. Dalam tarikat ditekankan adanya praktik-praktik ibadah melalui zikir dan wirid (riyadhah) harian secara berjamaah di bawah asuhan seorang syeikh, mursyid, guru, pembimbing atau pemandu. Tarikat adalah praktik-praktik batin tasawuf, yakni lintasan menuju hakikat yang berupa jalan penghayatan ruhani dan spiritual untuk membersihkan diri (tazkiyah al-nafs).
Sedangkan hakikat artinya kenyataan dan kebenaran hakiki, yaitu sikap berserah diri secara ikhlas hanya kepada al-Haqq, Allah swt sebagai realitas sejati, causa prima, wujud mutlak bagi segala yang ada (maujud). Kaum sufi sering disebut sebagai ahlu al-haqiqah, disebabkan keinginan mereka yang kuat untuk menggapai kebenaran yang hakiki, merasa dekat dengan al-Haqq. Para sufi dan wali meraih hakikat hanya dengan kewajiban melaksanakan perintah syari’at melalui tarikat. Dengan mengamalkan kewajiban perintah-perintah syari’at dengan praktik-praktik batin tarikat, seorang sufi merasakan pengalaman langsung akan kehadiran al-Haqq, Tuhan, dalam dirinya dan kehidupannya. Dengan penyucian hati dan pemahaman batin yang terus diasah dalam pengalaman spiritual, ia mengalami kondisi mistis dalam tasawuf. Tuhan ada dalam hati setiap orang beriman, disebabkan intensitas ibadah dan kualitas keimanannya.
Ibnu ‘Arabi menggambarkan dengan menarik, bahwa pada tahap syari’at (hukum): kepunyaanmu adalah kepunyaanku, pada tahap tarikat (jalan spiritual): kepunyaanku adalah kepunyaanmu begitu pun sebaliknya, pada tahap hakikat (kebenaran hakiki): tidak ada kepunyaanku maupun kepunyaanmu, dan pada tahap makrifat (gnosis): tidak ada aku dan kamu. Tidak ada maujud kecuali wujud. Tidak ada al-khalq kecuali al-Haqq.
*) Ketua MPI PWM DIY, Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow