Tirai Pemikiran 10: Mudzakarah, Muhasabah, Mujahadah dan Muraqabah

Tirai Pemikiran 10: Mudzakarah, Muhasabah, Mujahadah dan Muraqabah

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Robby H. Abror *)

Mari Ketahui Lebih dalam Tentang Muraqabah Muhasabah Mujahadah

Dalam tasawuf, seorang murid dapat mengambil manfaat dari pengetahuan sang mursyid dengan langkah musyawarah atau tanya jawab antara murid kepada mursyidnya seputar masalah agama seperti syari’ah, ibadah dan aqidah, persoalan pribadi yang menyangkut dosa-dosa, penyakit hati dan jiwa yang gelap—murid berterus terang kepada mursyid tentang perbuatan maksiat yang dilakukan (mujaharah bil ma’shiyah), hingga menyangkut maqamat dan ahwal. Tentang perbuatan maksiat yang telah diakui, al-Nawawi dalam Al-Adzkar, mengingatkan tiga rukun taubat yaitu: segera bertaubat kepada Allah dengan meninggalkan perbuatan itu, menyesalinya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Mudzakarah Artinya

Mudzakarah termasuk dalam salah satu dari lima dasar tarekat yang penting, yakni mudzakarah, zikir, mujahadah, ilmu dan cinta (mahabbah). Mudzakarah dapat dimaknai sebagai bertukar pikiran, berdiskusi, berunding, memberi pertimbangan, nasihat ataupun konsultasi, mengingatkan tentang sesuatu. Juga seakar dengan kata tadzkirah yang artinya peringatan. Mudzakarah tidak lain adalah etika praktis dalam Islam yang bentuknya dapat berupa musyawarah, dalam konteks tasawuf yakni musyawarah antara murid dengan mursyid. Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka (QS. Al-Syura: 38). Orang yang bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya (HR Bukhari dan Tirmidzi).

muhasabah Artinya

Adapun muhasabah berarti perhitungan, yakni memperhitungkan, mengevaluasi, mengoreksi diri dan meminta tanggung jawab atas perbuatan diri kita sendiri agar dapat dilakukan perbaikan atau dalam bahasa yang sederhana seringkali diterjemahkan sebagai “introspeksi diri.” Dalam Al-Burhan al-Muayyad, Ahmad Rifai menegaskan bahwa “rasa takut (khauf) akan mendatangkan muhasabah, muhasabah akan mendatangkan muraqabah (perasaan selalu diawasi oleh Allah) dan muraqabah akan mendatangkan sikap selalu menyibukkan diri kepada Allah.” Sikap lalai (ghaflah) dalam melakukan muhasabah akan membuat manusia lupa diri, tidak bertanggung jawab dan akan diliputi oleh hawa nafsu yang mengekang jiwa seseorang untuk dekat dengan Allah. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik (QS Al-Hasyr: 18-19). Berbahagialah orang yang sibuk memperhatikan aib dirinya sendiri daripada sibuk memperhatikan aib orang lain” (HR Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Mujahadah Artinya

Sedangkan mujahadah berarti bersungguh-sungguh dalam melawan hawa nafsu. Dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Quran, Raghib al-Asfahani memaknai jihad dan mujahadah sebagai berjuang melawan musuh dan berusaha keras melawan hawa nafsu. Mujahadah seringkali diselaraskan dan diikuti oleh tazkiyatun nafs (kesucian jiwa), yakni usaha menjernihkan jiwa dan membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu. Mujahid artinya orang yang berjuang melawan hawa nafsunya agar dapat taat kepada Allah. Mujahadah termasuk kategori ibadah, yang hukumnya adalah fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf (orang yang dikenai kewajiban agama). Mujahid adalah orang yang berjuang melawan hawa nafsu untuk ketaatan kepada Allah (HR Tirmidzi dan Baihaqi).

Imam al-Qusyairy al-Naisabury dalam kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tashawwuf menyitir pendapat Syeikh Abu Ali al-Daqqaq yang mengatakan bahwa “siapa yang menghiasi lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadah dalam tarekat ini, maka ia tidak akan menemui cahaya yang memancar darinya.”  Juga mengutip pendapat Abu Ja’far, “nafsu, seluruhnya gelap gulita. Pelitanya adalah batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufiq (bimbingan Allah). Orang yang tidak disertai taufiq dari Tuhannya, maka kegelapan akan menyelimutinya.” Al-Qusyairy juga mengingatkan bahwa jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencapai kebaikan, yaitu: larut dalam memuja hawa nafsu dan menolak kepatuhan kepada Allah.

Pembahasan terakhir tentang muraqabah yang berarti mengamati tujuan, perasaan selalu merasa diawasi oleh Allah, sadar diri dalam pengawasan dan penglihatan Allah,atau yang seringkali diterjemahkan dengan singkat sebagai “mawas diri”. Seorang salik yang senantiasa melakukan meraqabah kepada Allah, maka Allah akan menjaga dirinya. Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu (QS Al-Ahzab: 52). Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (QS Qaf: 18). Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan hati mereka, dan bahwa Allah Maha Mengetahui segala yang gaib? (QS Al-Taubah: 78). Beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu (HR Muslim).

Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi dalam kitabnya Al-Luma’, memaknai muraqabah sebagai pengetahuan dan keyakinan seorang hamba bahwa Allah selalu melihat dan mengetahui apa pun yang ada dalam hatinya, sehingga ia selalu berusaha mengoreksi segala bersitan hati dan pikiran yang tercela yang menyibukkan hati dari mengingat Allah. Al-Jurairy berkata, “siapa yang tidak mengukuhkan taqwa dan muraqabah kepada Allah, tidak akan mencapai mukasyafah dan musyahadah.” Ibnu Atha’ berkata, “ibadah yang paling baik adalah muraqabah kepada Allah setiap saat.”

Dengan selalumengingat dan pengakuan dosa secara jujur dan bertaubat (mudzakarah), introspeksi diri(muhasabah), upaya keras dan kesungguhan dalam melawan hawa nafsu (mujahadah) dan mawas diri (muraqabah), setiap pejalan spiritual (salik) akan senantiasa berusaha menjaga dirinya untuk selalu dalam kondisi ketaatan kepada Allah dan menepis setiap godaan dan obsesi duniawi yang selalu memenjarakan diri dengan hawa nafsu dan diperbudak olehnya. Seorang sufi yang menjaga dan mendisiplinkan diri dengan semuanya itu akan bertambah kualitas ibadahnya dan perjalanan spiritualnya dalam maqamat dan ahwal akan terus meningkat hingga mencapai mukasyafah dan musyahadah.  


*) Ketua MPI PWM DIY; Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
MediaMu Author

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait

Paling Banyak Dilihat