Toko Wajah

Smallest Font
Largest Font

Namanya Martin Aspen. Dia disebut sebagai analis intelijen Swiss yang telah membuat laporan berisi serangkaian tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Joe Biden. Laporan setebal 64 halaman tersebut juga dilengkapi dengan foto Martin Aspen. Sangat meyakinkan.

Ternyata laporan tersebut adalah fiktif. Martin Aspen juga fiktif. Foto yang dipasang pada dokumen setebal 64 halaman itu juga hanya rekayasa. Tidak pernah ada wajah seperti itu di dunia ini meskipun yang mirip mungkin ada. Wajah tersebut diproduksi oleh Artificial Intelligence (AI).

Advertisement
Scroll To Continue with Content

AI sebenarnya adalah sebuah metode dalam bidang matematika untuk mengenali sebuah pola. AI menjadi sangat mungkin digunakan sejak perkembangan perangkat komputasi yang semakin ampuh. Sebelum itu AI tidak mampu berbuat apa-apa karena ia butuh proses yang sangat panjang dan rumit. Tanpa mesin yang mampu menghitung ratusan ribu data dalam satu detik, AI hampir mustahil diterapkan menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari.

Kita ambil contoh penerapan AI untuk pengenalan wajah. Komputer tidak mampu mengenali wajah seperti yang mampu dilakukan manusia. Yang dapat dilakukan komputer hanyalah membaca data. Foto wajah misalnya. Dia tersusun dari serangkaian data. Kalau kita perbesar foto tersebut dengan perbesaran terus-menerus sampai terlihat ‘pori-pori’-nya, maka yang ada pada foto itu hanyalah kotak-kotak warna. Satu kotak terkecil punya tiga data warna: merah, hijau, biru. Masing-masing warna diwakili oleh bilangan antara 0 sampai 255. Kombinasi tiga bilangan tersebut akan menghasilkan jutaan warna. Tiga kode warna itulah yang mampu dikenali oleh komputer.

Jika kita memiliki dokumen foto dengan ukuran 500 x 500 pixel (satuan panjang pada layar komputer) maka pada dokumen tersebut terdapat 500×500 (250.000) kotak yang masing-masing kotak punya tiga bilangan. Untuk dapat menemukan bahwa dalam foto tersebut terdapat wajah manusia atau tidak maka komputer harus mencari di setiap kotak, dikombinasikan dengan kotak-kotak lain, hingga menemukan struktur penyusun wajah (biasanya disebut fitur):  titik-titik pada sudut mata, hidung, mulut, dan dagu. Fitur-fitur yang ditemukan itu dikalkulasi ulang untuk ‘memutuskan’ bahwa daerah tersebut adalah wajah manusia atau bukan.

Perkembangan AI saat ini tidak hanya menemukan wajah dalam sebuah dokumen foto digital tapi sudah mampu menyusun sebuah wajah. Hasilnya akan tercipta wajah baru dari orang yang belum pernah lahir ke dunia ini. Foto Martin Aspen dan foto-foto yang terpasang di awal tulisan ini adalah contohnya. Hasilnya sangat mirip foto manusia sebenar-benarnya. Mata manusia tidak akan mampu membedakan. Mana asli mana palsu. Dalam dunia teknologi kemampuan tersebut dinamakan dengan deep learning. Sebuah metode dalam matematika untuk memprediksi sesuatu berdasarkan pengalaman sebelumnya.

Video itu sejatinya hanyalah susunan gambar terurut yang berganti-ganti dalam durasi waktu tertentu. Jika kemampuan menyusun wajah baru dari fitur wajah tertentu yang dimiliki oleh seseorang maka hal lain yang dapat dilakukan adalah membuat video dari serangkaian wajah baru yang telah direkonstruksi. Jika digabung dengan rekayasa suara maka akan ada video Anda lengkap dengan suara yang tidak pernah Anda rekam sebelumnya. Dalam dunia teknologi kemampuan tersebut dinamakan dengan deep-fakes. ‘Kebohongan’ yang diciptakan menggunakan metode deep learning.

Sekarang sudah terbayang bagaimana jika kemampuan konstruksi dan rekonstruksi wajah oleh AI digunakan untuk menciptakan kebohongan. Wajah palsu dikombinasikan dengan narasi palsu maka lengkap sudah rekayasa yang diciptakan. Apalagi sudah ada juga ‘toko wajah’ yang tersedia di internet. Kita bisa beli wajah mana saja dengan pose apa saja. Siapapun dapat menciptakan kebohongan dengan tingkat presisi yang nyaris sempurna.

Dengan kondisi perkembangan teknologi yang sudah demikian bekembang, sepertinya perlu benteng kaidah ‘fikih-digital’ seperti ini: semua informasi dalam bentuk digital adalah tidak benar kecuali yang terkonfirmasi kebenarannya. Meskipun ‘alat’ untuk mengkonfirmasi kebenaran dengan akurasi yang cukup dapat dipercaya pun sulit untuk ditentukan. Mata manusia pun bisa dikelabui, bukan? (Farid Surya)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait

Paling Banyak Dilihat