Islam

Islam

MediaMU.COM

Apr 27, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Keutamaan Membantu Janda–Janda Susah

Oleh: Andi Suseno, M.Ag.*)

Agama Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (penebar kebaikan bagi seluruh alam). Salah satu misinya adalah menghilangkan penderitaan dan mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Prof. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan al-Qur’an”mengatakan bahwa Pemberitaan tentang Nabi Adam as. dan Hawa dalam al-Qur’an yang sempat transit di surga adalah untuk melihat gambaran kehidupan surga yang sejahtera baik lahir maupun batin. Dengan demikian dia akan tahu bagaimana menjalankan tugas menjadi khalifah di bumi dan bagaimana membangun serta memakmurkanya. Nabi Adam as. bersama istrinya diharapkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dan dengan petunjuk Ilahi dapat mewujudkan bayang-bayang surga di permukaan bumi, yaitu kehidupan yang penuh dengan kesejahteraan baik lahir maupun batin.

Also Read Pembelajar Sejati

Pada kenyataannya kehidupan ini memang tidak selamanya indah. Ada batu kerikil yang terkadang membuat kita tersandung. Ada ujian hidup yang tidak dapat kita elakkan datangnya. Fakta inilah yang terjadi saat ini, di tengah pandemic covid-19 begitu banyak permasalahan yang muncul di tengah masyarakat. Salah satu permasalahan yang ada adalah kasus perceraian pasangan suami istri. Angka perceraian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tergolong tinggi. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY mencatat pada 2019 angka perceraian menembus 1.490 dengan gugatan sebanyak 1.059 dan talak sebanyak 431 kasus perceraian. Hal ini tentu tidak bisa dianggap remeh karena begitu besar dampak negatif yang akan muncul karena perceraian tersebut.

Di balik tingginya kasus perceraian, permasalahan janda di tengah masyarakat menjadi sangat penting untuk menjadi perhatian. Pada sebagian kasus sebab jandanya seorang perempuan adalah karena perceraian yang bisa jadi karena perempuan itu sendiri yang menginginkan perceraian. Beruntung jika perempuan tersebut memiliki pekerjaan, sehingga tidak begitu berat memikirkan bagaimana melanjutkan kehidupan pasca perceraianya. Namun berbeda ketika jandanya perempuan karena sebab ditinggal mati oleh suaminya, atau sebab cerai tapi pada posisi perempuan tidak memiliki pekerjaan. Maka yang tersisa adalah permasalahan di masyarakat bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya. Belum lagi jika memiliki anak yang banyak, dan mantan suami tidak bertanggung dengan kehidupan anak-anaknya.

Pada permasalahan di atas, 1400 tahun yang lalu Nabi Muhammad saw. memberikan perhatian besar pada kehidupan para janda. Tentu permasalahan janda pada masa Nabi tidak begitu jauh berbeda dengan janda pada masa sekarang. Ada janda yang secara mental, dan material kuat seperti Khadijah. Tapi ada juga janda yang sangat membutuhkan perhatian dan uluran tangan dari masyarakat seperti Hindun binti Umayah atau Ummu Salamah. Untuk itu Nabi Muhammad saw. pernah bersabda:

Dari Abu Hurairah ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang memberi kecukupan kepada para janda dan orang-orang miskin, maka ia seperti halnya seorang mujahid di jalan Allah atau seorang yang berdiri menunaikan qiyamullail dan berpuasa di siang harinya”.

As-Saa’i adalah ismul fa’il bentuk subjek dari kata kerja sa’a – yas’a artinya bertindak, berbuat, dan berusaha. As-Saa’i sendiri artinya pekerja, petugas (dalam urusan shadaqah dan zakat). Secara leksikal hadis ini memberikan kesan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan kepada umatnya untuk memperjuangkan kehidupan para janda dan juga orang miskin dengan usaha yang sungguh-sungguh. Hal ini dapat difahami dengan pahala yang akan diberikan kepada penyantun para janda dan juga fakir miskin. Yang harus direnungkan adalah bagaimana mungkin seseorang akan disejajarkan kedudukanya dengan para mujahid fi sabilillah sementara dia hanya melakukan perbuatan yang biasa-biasa saja dan hanya sebatas menggugurkan kewajiban semata ketikan menyantuni janda dan fakir miskin. Allah SWT. menjanjikan kepada para mujahid dengan kedudukan yang tinggi di surga, dengan mendapat gelar syahid jika mati di medan peperangan dan surga tempat kembalinya. Jika para mujahid akan mendapat status syahid harus mempertaruhkan nyawa, harta, bahkan keluarganya terlebih dahulu, maka penyantun janda dan miskin yang akan mendapat pahala sebagaimana para syuhada di medan perang adalah mereka yang secara sungguh-sungguh berkorban memikirkan dan berbuat untuk kehidupan janda dan orang miskin.  

Dalam konteks kehidupan sekarang makna jihad bukan hanya bagaimana melawan orang kafir secara fisik, meskipun di negara tertentu masih berlaku. Dalam konteks Negara Indonesia, menyantuni fakir-miskin adalah wujud konkrit dari jihad sebagaimana yang Allah SWT. dan Rasulullah saw perintahkan. Akan tetapi santunan terhadap janda dan fakir miskin, tidak akan bermakna jihad jika hanya dilakukan sebatas menggugurkan kewajiban. Tetapi santunan yang bermakna jihad adalah santunan yang dilakukan secara sungguh-sungguh, sekuat tenaga, dengan mengeluarkan seluruh kemampuan untuk mengeluarkan para janda dan orang miskin dari penderitaan.

Permasalahan janda di tengah masyarakat memang tidak melulu tentang materi, tapi juga ada kebutuhan psikologis yang mereka butuhkan. Para stakeholder, pemuka agama harus memberikan porsi perhatiannya kepada kehidupan para janda. Klasifikasi kehidupan sosial menjadi sesuatu yang harus dilakukan, agar tepat dalam memberikan perhatian kepada mereka. Bukan hanya karena amanah UUD NKRI untuk memperhatikan kehidupan sesama manusia, tapi juga amanah Tuhan yang telah dijanjikan pahala besar bagi pelakunya.

Secara khusus umat Islam harus memiliki mental jihad sepanjang hayat, yang hidupnya tidak hanya berfikir bagaimana agar hidupnya bahagia. Tapi juga berfikir bagaimana kebahagiaan yang ia rasakan juga turut dirasakan oleh orang lain terutama para janda dan fakir miskin. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw‏.

Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda; “Tidak beriman (sempurna) salah seorang dari kalian kepada Allah sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. []


*) Penulis adalah Dosen Al Islam dan Kemuhammadiyahan di Universitas Ahmad Dahlan.

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here