Hukum Meninggalkan Salat Jumat?
MEDIAMU.COM - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa seseorang yang berada di lokasi dengan potensi penularan tinggi, salat jumat dapat ia ganti dengan salat Zuhur di rumah. Hal ini terkait dengan adanya pandemi yang mewabah, memungkinkan seorang muslim tidak bisa pergi ke masjid.
Ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW berikut ini:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى إِلاَّ أَرْبَعَةٍ عَبْدِ مَمْلُوكٍ ، أْوِ امْرَأَةٍ ، أَوْ صَبِىٍّ ، أَوْ مَرِيضٍ
Rasulullah bersabda bahwa salat jumat hukumnya adalah wajib. Kecuali empat orang yakni perempuan, budak yang dimiliki, anak kecil, dan orang sakit (H.R Abu Dawud).
Dikutip dari penulis ‘Aun al Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud memberikan penjelasan terkait orang sakit. Ia menjelaskan bahwa orang sakit yang tidak wajib salat jumat adalah saat ia hadir untuk salat malah menimbulkan masyaqqah.
Masyaqqah di sini adalah kondisi amat sulit atau memberatkan bagi orang tersebut. Dari penjelasan ini artinya tidak semua orang sakit (tak salat Jumat karena sakit biasa), tak wajib melaksanakan salat Jumat.
Kompensasi dan Pengampunan bagi Meninggalkan Salat Jumat
Ketika seseorang terpaksa atau secara tidak sengaja tidak dapat menghadiri Salat Jumat, penting bagi mereka untuk memahami cara mengkompensasi keabsenan tersebut dan memohon pengampunan kepada Allah SWT. Meskipun tidak ada pengganti langsung untuk Salat Jumat, ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan sebagai pengganti yang dapat membantu mengurangi kekurangan yang mungkin timbul karena absennya seseorang dalam Salat Jumat.
Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah melaksanakan Salat Dhuha. Salat ini dilakukan setelah terbitnya matahari hingga sebelum masuk waktu Dzuhur, dan meskipun dilakukan secara sukarela, memiliki banyak keutamaan. Selain itu, membaca Surah Al-Kahfi juga sangat dianjurkan, terutama pada hari Jumat. Membaca surah ini tidak hanya membawa berkah, tetapi juga dapat menggantikan sebagian keutamaan yang hilang karena tidak hadir dalam Salat Jumat. Selain itu, mengisi waktu yang biasanya diperuntukkan untuk Salat Jumat dengan berdzikir, berdoa, dan memperbanyak istighfar juga dapat menjadi pengganti yang baik.
Namun, lebih dari sekadar melakukan tindakan pengganti, penting bagi seseorang yang telah meninggalkan Salat Jumat untuk bertaubat dengan sungguh-sungguh dan memohon pengampunan kepada Allah SWT. Proses taubat dimulai dengan menyadari kesalahan yang telah dilakukan dan merenungkan konsekuensinya di hadapan Allah.
Kemudian, seseorang perlu bertaubat dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, dengan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut di masa yang akan datang. Selain itu, aktif memohon pengampunan kepada Allah atas kesalahan meninggalkan Salat Jumat menjadi langkah penting dalam proses taubat. Dengan merendahkan diri di hadapan-Nya dan memohon ampunan dengan tulus, seseorang dapat berharap untuk diberikan rahmat dan pengampunan-Nya.
Dari landasan diatas dapat disimpulkan jika menurut Imam Abu Hanifah orang buta tidak wajib mengikuti shalat Jumat meskipun ada yang menuntun atau mengarahkannya. Sebab, kebutaan itu sendiri merupakan masyaqqah.
Dan bagi imam Syafi’i jika ada yang menuntunnya, ia tetap wajib shalat Jumat. Dua pendapat ini dalam pandangan sebenarnya sama-sama tidak mewajibkan shalat Jumat bagi orang buta, hanya saja imam Syafii memberikan batasan apabila ada yang menuntun atau yang mengarahkan, maka tetap wajib shalat Jumat atasnya.
Meskipun kewajiban shalat Jumat menjadi gugur karena adanya masyaqqah, kewajiban shalat Dhuhur tetap berlaku oleh karena itu merupakan keharusan sebagai manusia dimuka bumi ini .
Ibadah salat dhuhur dilkukan seperti biasa. Dalam praktiknya, bila ada kendala lantaran sakit gerakan dan bacaan disesuaikan menurut kemampuan orang yang melakukannya.(*).
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow