Apakah Indonesia Semakin Jauh dari Islam?
Oleh: Prayudha *)
Setelah terbit pada 2004, “Ayat-ayat Cinta” kemudian meledak di pasaran. Ketika diangkat ke layar lebar pada 2008 dengan judul yang sama, karya Habiburrahman El Shirazy tersebut juga meledak. Film tersebut masuk dalam jajaran Box Office tersukses sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Lahir setelah itu novel dan film yang oleh banyak pihak disebut novel religi atau Islami.
Fenomena pop culture tersebut kemudian merambah ke berbagai bidang. Tren busana Islami kemudian menggejala. Muncul brand fashion dan kosmetik yang secara spesifik beraroma Islami bahkan hingga target marketnya. Sebagai contoh adalah Wardah yang mengusung jargon “kosmetik halal”. Geliat tersebut bahkan menjadi gelombang tren ekonomi yang menjadikan naiknya minat pada perbankan syariah yang terus tampak sejak 2009-2010.
Kultur yang lebih suka saya sebut sebagai “beraroma religius” tersebut tampak mulai meredup sejak beberapa tahun ini. Budaya populer memang punya usia yang kadang relatif singkat. Namun karena beraroma religi atau Islami, meredupnya tren tersebut menimbulkan efek domino. Efek tersebut bahkan sampai pada rumah, dapur, dan kamar kita.
Saya meyakini diri saya bukan pemilik attitude yang baik. Namun demikian, saya merasa punya kepekaan dan referensi untuk menilai kondisi moral sebuah masyarakat. Saya merasa bahwa nilai religiusitas mulai luntur pada masyarakat kita dan barangkali itu senada dengan redupnya pop culture beraroma Islami tersebut di atas.
Contoh konkrit saya temui di kampung halaman. Sejak 2014 sudah ada setidaknya tiga pasang pernikahan dini yang terjadi karena kehamilan di luar nikah di RW kami. Kampung saya dikenal sangat konservatif sehingga kejadian semacam itu awalnya sangat menghebohkan. Namun demikian, saking seringnya terjadi, masyarakat mulai menilai jika marriage by accident (MBA) adalah lumrah.
Fenomena semacam MBA atau kasus lain yang dianggap amoral semakin banyak terjadi tentu terkait juga dengan perkembangan teknologi informasi. Masyarakat gagap untuk menciptakan perangkat sosial dan kultural untuk mengimbangi tsunami informasi yang sama sekali tidak punya sekat sosial dan teretorial tersebut.
Namun analisis tersebut barangkali kuno dan semua orang menganggapnya lumrah. Barangkali di luar sana ada juga orang-orang yang tertarik untuk mengkaji hubungan antara lunturnya aroma religiusitas yang meluas di masyarakat kita ini dengan setrategi ideologis di atas sana. Ini bisa jadi dari sudut pandang politik nasional maupun internasional.
Apapun, saya tidak akan menyalahkan semisal the ruling power semisal yang membangun setrategi ideologis tersebut. Ideologi tak pernah salah bagi para pengikutnya. Saya justeru ingin menanyakan peran organisasi beraroma Islam yang barangkali gagap membaca situasi dan berdampak pada kesalahan menetapkan setrategi. Jika semisal kendali atas setrategi ideologis berbangsa tersebut harus dicapai dengan kemenangan politik maka semestinya organisasi berbasis Islam yang ada bisa merumuskan kemenangan tersebut.
Di atas saya kerap menyebut “beraroma Islam”. Istilah itu mewakili keyakinan saya bahwa Islam bukan Islam ketika itu berhenti pada simboliasasi. Saya salah satu orang yang sepakat dengan temuan riset Islamic Foundation yang menempatkan New Zealand sebagai peraih indeks Islami tertinggi. Selandia Baru bukan negara mayoritas Islam tetapi kehidupan mereka berdiri di atas nilai-nilai luhur yang diajarkan juga oleh agama Islam. []
*) Prayudha; Dosen Pendidikan Bahasa Inggris UAD
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow