Tirai Pemikiran 11: Mukasyafah dan Musyahadah
Oleh: Robby H. Abror *)
Allah swt berfirman, Dan Dia Maha Menyaksikan segala sesuatu (QS Saba’: 47). Dan yang menyaksikan dan yang disaksikan (QS Al-Buruj: 3). Dialah yang Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Lahir dan Maha Batin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS Al-Hadid: 3). Ke mana pun engkau menghadap, di situlah wajah Allah (QS Al-Baqarah: 115).
Kata kasyf ialah bentuk masdar yang berasal dari kasyafa-yaksyifu-kasyfan yang artinya menyingkapkan, menemukan, menghilangkan dan menampakkan. Dalam tasawuf, kasyf ialah pengetahuan yang diperoleh melalui kebiasaan berzikir, berkhalwat dan bermujahadah, juga hadir lewat firasat dan intuisi (dzauq) yang dalam manifestasinya berupa tersingkapnya tirai ketuhanan. Mukasyafah ialah tersingkapnya rahasia Allah yang tersembunyi. Para salik dapat menyaksikan yang gaib dengan terbukanya keyakinan melalui firasat (firasah). Hadis firasat berbunyi, takutlah kalian akan firasatnya orang beriman sebab dia melihat dengan cahaya Allah (HR Tirmidzi). Hadis firasat ini menjadi dasar bagi kasyf yang dialami para salik atau para wali.
Imam Al-Ghazali menggunakan istilah itu dalam salah satu karyanya yang berjudul Mukasyafatul Qulub al-Muqarrib ila Hadrati ‘Allamil Ghuyub dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Gaib.Al-Ghazali dalam Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Salikin menyinonimkan dan menyamakan arti mukasyafah dengan musyahadah, bashirah (mata hati, mata batin) dan mu’aiyanah. Dalam ‘Ilmu al-Auliya’ Al-Hakim al-Tirmidzi menjelaskan bahwa ilmu seorang muqarrib (orang yang berada sangat dekat dengan Allah) yang telah menggenggam ilmu inabah (kepasrahan), ilmu hati atau ilmu yang berguna (al-‘ilm al-nafi’) selaras dengan mu’ayanah (penglihatan langsung) dan muwaka’annah (keserupaan dalam hadis ihsan—Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu (ka’annaka) melihat-Nya, walaupun kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu—penekanan penghayatan pada praktik ka’anniyah [keseakanakanan] dalam perbuatan dan keyakinan).
Dalam Haqa’iq al-Tashawwuf, Syeikh ‘Abdul Qadir Isa menegaskan bahwa, “Allah menyingkapkan penghalang inderawi para salik atau para wali dan menghilangkan segala sebab materi dari diri mereka sebagai hasil dari mujahadah, khalwat dan zikir yang mereka lakukan. Penglihatan mereka terejawantahkan dalam mata hati mereka. Mereka melihat dengan cahaya Allah. Inti kasyf ialah jika seorang hamba berpaling dari indera lahirnya kepada indera batinnya, jiwanya menjadi cahaya yang lembut dan menyinari sehingga mampu menyingkap tabir dan memperoleh ilham. Kasyf itu warisan Rasulullah saw yang benar dan diwarisi oleh para sahabat disebabkan kesucian hati mereka. Kasyf yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw adalah mukjizat, sedangkan kasyfnya para sahabat dan para wali adalah karamah.”
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin menjelaskan bahwa “kesucian hati dan penglihatannya dapat dicapai dengan zikir. Dan ini tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang bertakwa. Takwa adalah pintu zikir. Zikir adalah pintu kasyf. Dan kasyf adalah pintu kemenangan terbesar, yaitu bertemu dengan Allah.”
Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kasyf seringkali dialami oleh para ahli mujahadah. Mereka mampu menyibak hakikat hidup yang tak dipahami orang lain. Melalui mujahadah, khalwat dan zikir akan terbuka penghalang inderawi dan mereka dapat menyaksikan alam-alam Allah di mana roh bagian darinya. Zikir adalah makanan untuk pertumbuhan roh. Selama dia masih terus tumbuh dan berkembang maka dia akan sampai ke tingkat persaksian (syuhud), setelah sebelumnya berada di tingkat ilmu. Kemudian dia mampu membuka tabir indera dan kesucian jiwa jadi sempurna. Itulah pengetahuan yang sebenarnya (idrak). Lalu, dia akan memperoleh pemberian Allah, ilmu ladunni dan kunci ilahiah.
Abul Qasim al-Qusyairy al-Naisabury menyebutkan pentingnya muhadharah, dalam kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tashawwuf, yakni kehadiran hati, sesudah itu baru mukasyafah yaitu kehadiran hati dengan sifat nyatanya, kemudian musyahadah yakni hadirnya al-Haqq tanpa dibayangkan. Ia analogikan dengan sebuah ilustrasi yang menarik, jika langit rahasia telah jernih dari awan yang menutupi, maka matahari penyaksian terpancar dari bintang kemuliaan.
Al-Junaid berkata, “wujud al-Haqq menyertai kesirnaanmu. Orang yang bertahap muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh sifat-sifat-Nya, sedangkan orang yang musyahadah ditemukan dzat-Nya. Orang yang muhadharah ditunjukkan akalnya, orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya dan orang yang musyahadah dihapuskan oleh makrifatnya.”
Dalam Kasyf al-Mahjub li Arbab al-Qulub yang berarti “Menyingkap Tabir Kegaiban atau Hakikat bagi Orang-orang yang Mempunyai Penglihatan Tajam atau supaya Orang Memiliki Penglihatan Tajam sebagaimana Para Sufi” risalah Persia klasik tentang tasawuf yang ditulis oleh Al-Hujwiri yang sistematikanya sebagian ada kemiripan dengan kitab Al-Luma’ karya Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi. Al-Hujwiri menjelaskan tentang kata “hijab” di muqaddimah bukunya, bahwa setiap orang terhalangi dari kebenaran ruhani, kecuali wali-wali Allah dan orang-orang yang terpilih. Kasfyul Mahjub dimaksudkan oleh penulisnya sebagai penjelasan tentang jalan kebenaran dan menyingkap tabir kefanaan, dan penyingkapan (kasyf) ialah penghancuran objek yang tertutup tabir, sama seperti tabir menghancurkan penyingkapan (mukasyafah).
Amr bin Utman al-Makki berkata, “Musyahadah ialah kegaiban yang ditemukan oleh hati dengan kegaiban yang tidak dijadikan sebagai sesuatu yang terlihat dan tidak pula penghayatan hati nurani (wajd). Musyahadah adalah kesinambungan antara penglihatan hati dengan penglihatan mata, karena penglihatan hati adalah ketika tersingkapnya keyakinan dalam bertambahnya dugaan. Musyahadah artinya kedekatan atau kehadiran. Musyahadah ialah luapan keyakinan yang memancar dengan tersingkapnya kehadiran yang tidak keluar dari tutup hati. Musyahadah adalah kehadiran yang berarti kedekatan yang dibarengi dengan ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya.”
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi memaknai mukasyafah sebagai kondisi spiritual yang sangat tinggi dan merupakan lembaran-lembaran di atas berbagai hakikat keyakinan yang akan melahirkan kondisi spiritual keyakinan sejati (yaqin). Ia membagi tiga kondisi orang-orang yang bermusyahadah: pertama, kelompok pemula yakni para murid yang menyaksikan segala sesuatu dengan mata penuh ‘ibrah dan mata pikir. Kedua, kelompok menengah yang meyakini bahwa semua makhluk ada dalam genggaman al-Haqq dan menjadi milik-Nya, sehingga ketika terjadi musyahadah antara Allah dan hamba-Nya maka tidak ada lagi yang tersisa dalam rahasia hati dan imajinasinya kecuali Allah. Ketiga, ‘urafa (orang-orang ‘arif) yang menyaksikan Allah dengan kesaksian yang menetapkan, mereka menyaksikan-Nya dengan segala sesuatu dan menyaksikan segala yang wujud (alam) dengan-Nya. Mereka menyaksikan Allah secara lahir dan batin, awal dan akhir.
Kasyf mempunyai dasar dalam Islam, sebab Rasulullah saw mewariskannya kepada para pemilik hati yang suci. Dengan kesucian hati, seseorang akan sangat dekat dengan Allah melalui mujahadah, khalwat dan zikir, dan memperoleh ilmu hati yang mendatangkan cahaya Allah ke dalam indera batinnya sehingga tersingkap segala tabir kegaiban. Jika kesucian hati seorang hamba telah sempurna, maka pandangannya akan selalu disinari oleh cahaya Allah. Hati yang bercahaya tidak dimiliki oleh orang-orang yang larut dalam gemerlapnya dunia, tawanan hawa nafsu, kesombongan, kezaliman, ketidakadilan, pangkat dan jabatan yang menyilaukan serta segala kepalsuan lainnya. Mukasyafah dan musyahadah hanya diperoleh oleh para arif, zahid, salik atau muqorrib yang tulus dan hatinya suci secara sempurna disebabkan selalu istiqomah sebagai ahli zikir, khalwat dan mujahadah.
*) Ketua MPI PWM DIY; Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow