ads
Tirai Pemikiran 8: ‘Uzlah dan Khalwat

Tirai Pemikiran 8: ‘Uzlah dan Khalwat

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Robby H. Abror *)

Ada yang menyamakan ‘uzlah dengan khalwat disebabkan keinginan yang sama untuk meninggalkan hawa nafsu dan godaan duniawi. Ada pula yang menggunakannya secara bergantian dan bersamaan sebagai dua sisi dari sekeping mata uang. Sehingga ketika disebut ‘uzlah sekaligus dimaksudkan sebagai khalwat. Tetapi ada juga yang dengan tegas membedakannya.

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

‘Uzlah secara etimologis artinya mengasingkan diri dari keramaian atau menarik diri dari kerumunan. Adapun khalwat berarti menyendiri atau menyepi dengan senantiasa menempa diri dalam latihan spiritual (riyadhah). Kemiripan maknanya terletak pada tujuannya, yakni menepis perbuatan maksiat dengan menempuh tahapan-tahapan (maqamat) perjalanan salik atau zahid dengan memperbanyak zikir, meninggalkan yang haram dan berserah diri dalam intensitas ‘ubudiyah kepada al-Haqq. Dalam hadis Qudsi disebutkan Allah swt berfirman, ahli zikir kepada-Ku adalah teman duduk-Ku (HR Ahmad).

Syaikh Ahmad Zaruq dalam Qawa’id al-Tashawwuf menyamakan iktikaf dengan khalwat dari aspek tujuannya, jika iktikaf dilakukan di dalam masjid, khalwat tidak harus di masjid. Khalwat lebih spesifik daripada ‘uzlah. Khalwat dapat mengintensifkan peneguhan jalan spiritual (suluk) untuk membersihkan hati dari kotoran-kotoran duniawi, mengosongkan hati dari kesibukan dunia yang menghalangi diri dari berzikir kepada Allah dan selalu bertafakur atas setiap nikmat-Nya. Al-Kasymiri dalam Faidh al-bari ‘ala Shahih al-Bukhari menyamakan iktikaf yang dilakukan oleh kalangan fuqaha’ dengan khalwat yang dilakukan oleh kalangan sufi.

Khalwat bukan karangan para sufi, melainkan ajaran yang secara eksplisit terdapat dalam al-Quran maupun Hadis. Nabi Muhammad saw pernah berkhalwat dan menyendiri (tahannuts)di Gua Hira. Aku berada di Gua Hira selama sebulan (HR Muslim). Rasulullah saw juga melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadan. Sepuluh hari ialah batas minimal dalam berkhalwat. Sunnah memberi petunjuk empat puluh hari untuk khalwat, seperti perjanjian pada Nabi Musa as (QS Al-A’raf: 142).

Rasulullah saw suka berkhalwat. Beliau berkhalwat di Gua Hira dan beribadah dalam waktu beberapa malam, sebelum beliau kembali kepada keluarga beliau dan mengambil bekal. Kemudian beliau pulang ke rumah Khadijah dan mengambil bekal lagi. Sampai akhirnya wahyu datang kepada beliau sedang beliau berada di Gua Hira (HR Bukhari). Setelah berkhalwat di Gua Hira, Rasulullah saw terus berkhalwat di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan yang dikenal dengan iktikaf (i’tikaf), yang berarti menetap, mengurung diri atau berdiam diri di masjid. Imam Junaid al-Bahgdadi mengatakan bahwa “Barangsiapa menginginkan agamanya sehat dan raga serta jiwanya tenteram, lebih baik ia memisahkan dirinya dari orang banyak. Sesungguhnya di zaman yang penuh ketakutan, memilih kesendirian adalah sikap orang yang bijak.”

Bagi seorang sufi, melakukan ‘uzlah dan khalwat adalah langkah awal dalam perjalanan spiritual menuju al-Haqq, sebagaimana Rasulullah saw melakukannya di fase awal kerasulannya. Jika Muhammad saw sebagai kekasih Allah mencapai maqam kenabian, para sufi atau ‘arif mencapai puncak makrifat dalam maqam kewalian. Al-Qasthalani dalam Irsyad al-Sari li Syarhi Shahih al-Bukhari menguraikan bahwa ‘uzlah dapat mengistirahatkan hati dari berbagai aktivitas duniawi dan mengarahkannya untuk Allah semata, sehingga darinya terpancar sumber hikmah. Khalwat adalah mengasingkan diri dari selain-Nya, bahkan dari dirinya sendiri. Menurut Yahya bin Mu’adz, “keheningan adalah sahabat orang yang jujur.” Abu Yazid berkata, “Aku melihat Tuhan dalam mimpi, lalu aku bertanya, ‘Bagaimana aku harus menjumpai-Mu?’ Tuhan menjawab, ‘Tinggalkan dirimu dan kemarilah!” Dzunnuun al-Mishry ditanya, “Kapan ‘uzlah yang tepat bagi diriku?” Ia menjawab, “Ketika Anda sanggup memisahkan diri Anda dari diri Anda sendiri.” Ditanyakan kepada Ibnu al-Mubarak, “Apakah obat bagi hati yang sakit?” Ia menjawab, “Berjumpa dengan sesama manusia sejarang mungkin.”

Dalam Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tashawwuf Abul Qasim al-Qusyairy al-Naisabury berkata bahwa “sendiri dalam khalwat sangat dekat dengan ketenangan jiwa. ‘Uzlah adalah lambang orang yang berwushul kepada Allah, sedangkan khalwat adalah sifatnya orang yang suci. Syarat awal bagi kondisi ruhani seorang sufi adalah memisahkan diri dari manusia, dan mengasingkan diri adalah akhir kondisi ruhaninya.”

Abu al-Hasan al-Syadzili dalam Risalah al-Amin fi al-Wudhul li Rabb al-‘Alamin menjelaskan bahwa “buah ‘uzlah adalah terlimpahnya empat karunia Allah, yaitu: terbukanya hijab atau tabir antara al-Haqq dengan makhluk, turunnya rahmat, kepastian terwujudnya cinta kasih (mahabbah) dan lisan yang jujur dan tulus sehingga setiap ucapannya menjadi kenyataan.”

Khalwat tidak berarti ‘uzlah terus-menerus dan menyendiri dari keramaian selamanya, sebab ‘uzlah bersifat sementara. Khalwat mengosongkan diri dari obsesi duniawi dalam waktu tertentu dan kembali bergaul bersama manusia dengan iman yang lebih kokoh dan jiwa yang bersih. ‘Uzlah dan khalwat adalah langkah awal, selanjutnya tetap istiqamah meniti jalan-jalan spiritual seperti muhasabah, mujahadah, mudzakarah dan muraqabah.


*) Ketua MPI PWM DIY; Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait

Paling Banyak Dilihat