Berlindung dari 4 Musibah
Oleh: Ilham Lukmanul Hakim*)
Dari Abu Hurairah ia berkata: salah satu do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah : “ Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusuk, dan dari jiwa yang tidak pernah merasa puas, serta dari do’a yang tidak didengar.”
Hadis diatas diriwayatkan imam An-Nasaiy dalam kitab sunannya, bab Al-Isti’azah min du’ain la yusma’ (bab perlindungan dari do’a yang tidak didengar) nomor 7823. Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya nomor 9829 pada bab musnad Abi Hurairah. Sunan Abu daud pada Bab fi al-isti’azah (Bab dalam memohon perlindungan) nomor 1548. Ibnu majah nomor 250 pada bab al-intifa’i bi al-‘ilmi wa al ‘amalu bihi (mengambil manfaat dari ilmu dan beramal dengannya) dengan derajat shahih.
Imam muslim meriwayatkan matan hadis diatas sebagai bagian penutup dari doa yang panjang dengan redaksi yang sedikit berbeda, pada Bab at-Ta’uzu min syarri ma ‘amala wa min syarri ma lam ya’mal (Bab perlindungan dari keburukan yang telah dilakukan dan dari keburukan yang belum dilakukan ) nomor 2722, sebagai berikut :
Dari Zaib bin Arqom doa berkata; “ Saya tidak akan mengatakan kepada kalian kecuali seperti apa yang pernah diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam doanya yang berbunyi: ‘ Ya Allah ya Tuhanku, aku berlindung kepadamu dari kelemahan, kemasalan, ketakutan, kekikiran, kepikunan dan siksa kubur. Ya Allah ya Tuhanku, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah ia, sesungguhnya engkaulah Dzat yang dapat mensucikannya. Engkaulah yang menguasai dan menjaganya. Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari Ilmu yang tidak berguna, hati yang tidak khusu’, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan. “
Sebagaimana para pembaca dapati, hadis-hadis diatas berisi tentang salah satu do’a Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang berisi permohonan agar dilindungi dari 4 macam hal. Do’a yang amat sering dilantunkan umat muslim dalam berbagai kesempatan, setiap selesai shalat, atau oleh khotib ketika khutbah jum’at. Empat hal tersebut ialah permohonan untuk dilindungi dari Ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan dari do’a yang tidak didengar.
Ilmu yang Tidak Bermanfaat
Allah mengangkat orang yang beriman dan berilmu diantara umatnya beberapa derajat (al-Mujadilah 58 : 11). Ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca (QS. Al-‘Alaq 96 : 1). Nabi mengajarkan kepada umatnya dalam berbagai do’a untuk meminta ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana hadis berikut :
… “ Ya Allah, aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima “ (HR. Ibnu Majah : 925).
Secara khusus Nabi pernah memohon Ilmu yang bermanfaat dan dilindungi dari ilmu yang tidak bermanfaat secara bersamaan dalam satu do’a.
“… Dari Jabir bin ‘abdillah, ia berkata ; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat dan aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat. “ (HR. Ibnu Hibban No 82).
Cerita imam Syafi’I mengadu kepada gurunya Waki’ saat mengalami jeleknya hafalan sangatlah masyhur. Waki’ saat itu mengajarkan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada ahli maksiat.
Jika kedudukan ilmu dan orang berilmu demikian istimewa dihadapan Allah, lalu mengapakah kiranya ilmu itu sendiri dibagi kedalam dua jenis yang bersebrangan. Sehingga Nabi berulang-ulang dalam doanya meminta dianugerahkan ilmu yang bermanfaat dan dilindungi dari ilmu yang tidak bermanfaat. Bila ilmu itu adalah cahaya, apakah sebabnya hingga ia dapat menjadi sesuatu yang tidak berguna atau bahkan dapat membawa celaka ?.
Dalam hal itu, Nabi pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibnu majah dalam kitab sunannya, bab mengambil manfaat ilmu dan beramal dengannya nomor 254.
“ … dari Jabir bin ‘Abdullah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Janganlah kalian mempelajari ilmu untuk mendebat para ulama, meremehkan orang-orang bodoh, menghiasi (ria dalam) majelis. Barangsiapa melakukan hal itu, maka baginya neraka, baginya neraka.”
Bersamaan dengan bunyi hadis tersebut, didapatilah bahwa ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang digunakan untuk keburukan. Bukanlah karena cahaya itu yang tidak bermanfaat, namun pemiliknyalah yang menggunakan bukan untuk kebaikan. Hadis diatas memberi contoh perbuatan yang membuat ilmu menjadi tidak bermanfaat dengan cara mendebat para ulama, meremehkan orang bodoh, dan ria dalam suatu majelis.
Seorang polisi haruslah mengerti betul bagaimana cara orang berkomplot, menstruktur dan melakukan kejahatan bukan untuk melakukan hal yang sama, namun untuk melakukan tindak pencegahan. Para penyidik yang bertugas melindungi harta rakyat yang ada pada negara mestilah tahu betul cara apa saja yang dapat dilakukan seorang pejabat untuk korupsi, bukan untuk melakukan hal yang sama, namun untuk mencegah dan menangkap pelaku Tindakan tersebut. Tidaklah kurang Pendidikan yang dimiliki oleh para pemimpin disebuah negeri. Diantara mereka ada yang bergelar sarjana, master, doktor juga professor, namun kemana ilmu itu mereka akan gunakan, kebaikan atau keburukan, adalah keputusan mereka sendiri.
Bersamaan dengan iman yang kuat lagi kokoh, ilmu itu membawa kepada derajat tinggi di sisi Allah. Tanpa diiringi akhlak yang terpuji ia menuju kepada ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang tidak bermanfaat inilah petaka yang pertama.
Hati yang Tidak Khusyuk
Manusia diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada Allah (QS Az-Zariyat 51 : 56). Ia dicptakan pula dalam bentuk sebaik-baiknya (QS. At-Tin 95 : 4), pengikraran dirinya atas keesaan Allah sejak hendak terlahir adalah bagian dari fitrah manusia (QS. Al-A’raf : 172). Sedangkan manusia seluruhnya dilahirkan dalam keadaan fitrah (HR. Bukhori : 1385).
Saat manusia diciptakan dengan maksud untuk beribadah kepada Allah, maka iapun dibekali dengan segala peralatan yang ia butuhkan untuk mencapai tujuan itu. Fitrah adalah segala hal yang manusia butuhkan untuk dapat beribadah kepada Allah, yakni kesucian dan kesadaran akan keesaan Allah. Allah bekali fitrah itu pada seluruh umat manusia, bahkan seketika ia masih dalam kandunga ibunya.
Bila demikian, mengapa ada pada manusia bagian yang tidak sesuai dengan fitrah itu, yakni hati yang tidak khusuk. Apakah yang dimaksud dengan hati yang tidak khusuk, apa sebab hati menjadi tidak khusuk ?.
Dalam hal ini Allah berfirman dalam QS. Az-Zumar (39) : 22
“ Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Muhammad Asyraf kitabnya ’Aun al-Ma’bud ala Syarh Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hati itu sesungguhnya diciptakan untuk senantiasa khusuk kepada penciptanya. Yang mana dengan khusyuk itu, hati menjadi lapang dan memancarkan cahaya dari dalamnya. Apabila tidak demikian, maka sungguh hati itu telah membantu dan harus segera memohon perlindungan darinya.
Amat besar perkara hati yang membatu untuk mengingat Allah ini. Hati yang tak dapat merasakan nikmat iman dan dzikir kepada Allah. Hati yang dipenuhi dengan noktah hitam legam, yang menjadi sebab ia tak lagi merasa khusuk. Berikut Nabi jelaskan bagaimana hati itu kehilangan fungsinya.
“ … dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda : ‘ Seeorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka diberikan titik hitam dihatinya, dan apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, maka hatinya akan dibersihkan kembali. Namun jika ia Kembali mengerjakan dosa itu maka titik hitamnya akan bertambah hingga menutupi hatinya. Dan itulah ‘raan’yang disebutkan dalam al-Qur’an (sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. al-Muthaffifin :14). (HR. Tirmidzi No. 3334).
Hati yang dipenuhi titik hitam sebab kemaksiatan yang terus menerus dilakukan itulah yang kemudian disebut dengan hati yang sakit bahkan mati. Sakit berarti ia tak lagi berfungsi sebaik sebagaimana mestinya. Mati berarti tak berfungsi sama sekali, tak merasakan apapun lagi, sebagaimana daging yang membusuk walau ia ditusuk-tusuk tak terasa sakit.
Kata khusyuk secara bahasa berasal dari kata خَشَعَ – يَخْشَعُ yang berarti menyerah atau tunduk. Maka hati yang tidak khusuk adalah hati yang tidak menyerah dan tunduk ketika mengingat Allah. Hal ini lebih mudah diperiksa ketika sedang melaksanakan shalat, baru saja takbiratul ihram, mulut memang bergerak melantukan bacaan shalat namun hati masih tertinggal di rumah, kantor, sekolah, pasar, dan tempat lainnya. Meski mulut bergerak mengucapkan berbagai do’a dan kalimat suci, namun hati sama sekali tak tersentuh. Hati yang tidak khusyuk, alangkah besarnya petaka yang kedua ini.
Jiwa yang Tidak Pernah Puas
Tidak puas berarti rakus dan tamak terhadap dunia. Sedangkan rakus dalam beramal kebaikan itu diperlukan, sebagaimana perintah Allah untuk senantiasa berdoa ditambahkan ilmu yang terdapat dalam Qur’an surat Thaha, surat ke 20 ayat 114. Sifat rakus ini digambarkan dengan amat jelas dalam hadis berikut;
“ … Dari ‘Abbas bin sahl bin Sa’id dia berkata; saya mendengar Ibnu Zubair dalam khutbahnya di atas mimbar ketika di Mekkah, ia berkata; wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘ sekiranya anak Adam diberi satu bukit yang dipenuhi dengan emas, niscaya ia akan menginginkan bukit yang kedua, dan apabila diberi bukit yang kedua, niscaya ia menginginkan bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam dipenuhi melainkan dengan tanah, dan Allah akan menerima taubat siapa saja yang bertaubat. “ (HR, Bukhori No. 6438)
Harta benda tak dapat memenuhi perut manusia, hanya tanah saja yang mampu, adapun tanah yang dimaksud adalah kematian. Tak terbilang jumlah harta Qorun miliki, hingga kunci-kunci emas untuk membuka gudang penyimpanan harta miliknya harus dipikul oleh beberapa orang kuat sekaligus (QS. Al-Qashash 28 : 76). Kekayaan yang melimpah tersebut tidak membuat Qorun puas, maka ia pamerkan kekayaan itu pada rakyat miskin, tak cukup sampai disitu, iapun enggan melaksanakan perintah nabi Musa untuk sekedar menunaikan zakat. Padahal dengan harta itu ia memiliki potensi ibadah yang tak dimiliki orang miskin.
Berwudhu dengan pernggunaan air yang berlebihan juga dilarang Nabi, walau air yang tersedia melimpah ruah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash berkata: bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati Sa’ad yang sedang berwudhu, maka beliau bertanya: “ Wahai Sa’ad, kenapa kamu berbuat isrof (berlebih-lebihan)?” dia berkata; “Apa dalam wudlu juga ada isrof?” beliau mejawab: “ya, meskipunn kamu berada pada sungai yang mengalir”.
Diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hanbal dalam “musnadnya” juz 11, bab “Musnad ‘Abdullah bin ‘Amru bin all-‘Ash” nomor 7065.
Bukan karena sumber daya alam melimpah maka dapat dimanfaatkan sesuka hati untuk kepentingan sendiri. Bukan karena hutan Indonesia amat luas maka pohonnya bebas saja ditebang. Bukan karena laut Indonesia amat kaya maka segala peralatan boleh digunakan walau itu mencemari dan merusak ekosistem. Saat pergi ke resepsi pernikahan, terhampar luas berbagai macam jenis makanan, tamu bebas mau memilih dan menyantap. Diambilnya banyak-banyak ke atas piring, setelah hendak disantap ternyata perut lebih dahulu kenyang karena telah sarapan dirumah, maka berhentilah ia makan, dan terbuanglah daging bulat utuh yang Ia ambil. Betapa mubazirnya, ratusan ribu bahkan jutaan makanan terbuang saat resepsi pernikahan, disaat Sebagian hanya mampu membayangkan nikmatnya makanan dalam impian, sebagian lain justru ringan saja membuangnya. Jiwa yang tak pernah puas, rakus, tamak, inilah petaka yang ketiga.
Do’a yang Tidak Didengar
Allah memerintahkan umatnya untuk memohon kepada Allah dengan sabar dan shalat (QS. Al-Baqarah 2 : 45). Jika hambanya mengingat Allah maka Allahpun akan mengingat akan hambanya (QS. Al-Baqarah 2 : 152). Allah pula memerintahkan untuk berdoa, maka akan dipenuhilah do’a itu (QS. Al-Mu’min 40 : 60). Tidak harus melalui perantara do’a itu disampaikan, cukup dengan suara lirih dari mulut sendiri, sebab Allah lebih dekat dari urat leher (QS. Qaf 50 :16).
Tidak didengar bukan berari Allah tidak mendengar, akan tetapi tidak didengar berarti tidak dikabulkan. Saudara paham betul orang yang dipanggil mendengar suara panggilan, namun dengan sengaja ia tidak menoleh dan menghiraukan panggilan. Bertemu, senyum dan menyapa seorang teman saat berpapasan di jalan, tapi ia balas bahkan dengan tidak bertatap mata sekalipun, diabaikannya segala keramahan yang diberikan.
Rasa sakit karena tersinggung dari panggilan dan kebaikan yang diabakan itu barangkali masih dapat disembuhkan bila yang melakukan hanya seorang kenalan yang tak terlalu dekat hubungannya. Namun lain halnya apabila yang melakukan itu adalah seorang sahabat yang amat dicintai dan amat besar jasanya dalam perjalanan hidup. Istri atau anak yang selalu menjadi permata hati, atau bahkan orang tua yang mengurusnya dengan penuh cinta dan segala pengorbanan sejak lahir dan tumbuh tinggi. Tentu hancurlah hati dibuatnya, seakan-akan ingin mencium kedua tangan agar ia bersedia memaafkan.
Diacuhkan, tak didengar, tak dikabulkan do’a oleh Allah, inilah petaka yang keempat.
– Allahumma inni A’uzubika min ‘ilmin la yanfa’u, wa min qolbin la yakhsya’u, wa min nafsin la tasyba’u, wa min du’a in la tusma’u –
*)Guru ISMUBA SMPM Cipanas & Alumni S1 Ilmu Hadis UAD | 0877 2023 2428
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow