Idul Fitri & Asketisme Sosial
Oleh: M.Wiharto,S.Sy.,S.Pd.I.,M.A.*
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ، نَحْمَدهُ ونَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَن لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ محَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ [آل عمران: 102]. ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُواْ اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا)) [النساء: 1]. ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا )) [الأحزاب: 70 – 71[.
أَمَّا بَعْدُ : وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Gempita Takbir, tahmid, dan tahlil sejak tadi malam telah berkumandang di seluruh pelosok negeri ini dan di berbagai belahan dunia. Dengan serentaknya hamba-hamba Allah bertakbir, bertahmid, dan bertahlil, seolah-olah kumandang suaranya bisa melingkupi jagat dan menembus langit. Semuanya menjadi senyap dan hening. Nyaris tidak ada suara yang terdengar dan tidak ada bunyi yang terkuping, kecuali gemuruh takbir dan ungkapan hati yang meyakini Kerahmanan dan Kerahiman Allah Sang Maha Pencipta dan Pemilik seluruh alam raya ini beserta segala isi dan penghuninya.
Semuanya khusyuk dan tunduk di hadapan Rabb semesta alam Yang Maha Luhur dan Maha Mulia, dengan kesadaran diri sebagai makhluk yang lemah, kecil dan tak berdaya kecuali atas seizin-Nya. Begitulah menjelang dan di hari yang fitri ini umat Islam di mana-mana mengucapkan asma Allah sebagai tanda syukur dan penuh ungkapan rasa terima kasih atas segala karunia dan nikmat yang telah dianugerahkan-Nya. Sikap ini juga sebagai tanda kebahagiaan dan kemenangan kaum Muslimin yang sudah melatih diri memerangi hawa nafsu selama bulan Ramadhan:
…ولتكملواالعدة ولتكبرواالله علي ما هديكم ولعلكم ثشكرون
“…Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. al-Baqarah/2: 185).
Menurut Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Marwazi, maksud ayat: ولتكبرواالله علي ما هديكم adalahلتكبروا يوم الفطر (agar kamu sekalian mengagungkan Allah [mengumandangkan takbir] pada waktu `Idul Fitri). Dalam riwayat Imam ath-Thabrani, Rasulullah SAW bersabda: زينوا أعيادكم بالتكبير
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
معاشر المسلمين رحمكم الله
Idul Fitri merupakan hari raya kemenangan bagi kaum Mukmin yang telah berhasil melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan dengan sebagaimana mestinya. Berpuasa bukan sekedar menahan lapar dan haus saja, tetapi juga mampu mengendalikan hawa nafsunya, menyucikan dan jiwanya dan membeningkan hatinya. Begitu juga shalat tarawih atau qiyamu Ramadhan dijalankan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan introspeksi diri, bukan sekedar tingkah dan gerak badan yang tanpa makna. Sehingga derajat taqwa sebagaimana diungkapkan di ujung ayat 183 dari surat al-Baqarah bisa dicapai dengan baik. Orang-orang yang mampu berpuasa secara berkualitas dan menegakkan shalat tarawih secara bermutu seperti inilah yang akan terhindar dari hadits sindiran Rasulullah SAW:
رب صا ئم ليس له من صيامه إلا الجوع ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر
“Berapa banyaknya orang berpuasa, namun tidak memperoleh apa-apa dari puasanya itu kecuali rasa lapar; dan berapa banyak orang yang menegakkan qiyamu Ramadhan (tarawih), namun tidak memperoleh apa-apa kecuali hanya lelah dan ngantuk saja”. (H.R. Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Dengan demikian, orang-orang yang sadar dengan makna dan hakikat ibadah puasa yang dilakukannya di bulan Ramadhan; serta khusyuk dan sungguh-sungguh dalam qiyamu Ramadhan-nya itu akan memperoleh janji Allah. Mereka yang beruntung ini akan menjadi manusia-manusia yang dibersihkan dari segala kesalahan dan diampuni dari seluruh dosanya yang telah lalu:
من صام رمضا ن إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من دنبه
“Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan introspeksi diri, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Imam Bukhari).
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
معاشر المسلمين رحمكم الله
Bulan Ramadhan dengan beragam ibadah dan amalan lainnya seolah-olah telah menjadi “Madrasah Ramadhan” yang telah mengembleng dan mendidik kita untuk menjadi orang-orang yang konsisten dengan agama Islam, hanya tunduk dan patuh kepada Allah, dan menetapi fithrah yang telah diciptakan-Nya.
Kita menyadari dan meyakini agar menjadi manusia yang bisa menjalani hidup dan menunaikan kewajiban sesuai dengan fithrah yang telah disematkan-Nya pada diri. Pada saat Idul Fitri yang kita syukuri ini, maka kesadaran dan dorongan untuk menetapi fithrah-Nya itu semakin menguat. Begitu seterusnya setiap Ramadhan tiba dan kemudian dipungkasi dengan Idul Fitri, maka naluri keberagamaan yang tulus dan suci untuk memandu kehidupan ini semakin tidak bisa dimungkiri.
Maha benar Allah yang telah berfirman:
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن اكثر الناس لا يعلمون
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fihtrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) Agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. ar-Rum/30: 30)
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
معاشر المسلمين رحمكم الله
Menurut Prof. Quraish Shihab, salah seorang pakar tafsir terkemuka di Indonesia, fithrah berarti kesucian. Kesucian adalah gabungan tiga unsur: benar, baik, dan indah. Sehingga, seseorang yang ber-Idul Fitri dalam arti “kembali kepada kesucian” akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik. Bahkan lewat kesucian jiwanya itu ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar, dan indah. Karena, mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika, dan mencari yang benar menghasilkan ilmu.
Dengan demikian, Idul Fitri, disamping sebagai perayaan pasca-ibadah Ramadhan, juga membawa pesan dan hikmah keagamaan bagi perbaikan kualitas hidup yang lebih bermakna. Di dalamnya terkandung pula arti keniscayaan untuk melakukan semacam transformasi-moral-spiritual & transformasi-sosial-kemanusiaan untuk pencerahan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara agar lebih beradab, bermartabat, dan berkemajuan.
Dimensi spiritual-keagamaan yang dikandung Idul Fitri, dalam konteks sosial-kemanusiaan pada dasarnya merupakan peringatan serius bagi etika dan praksis kehidupan sesama manusia. Seperti yang kita rasakan bersama, akhir-akhir ini drama kehidupan manusia sudah berkesan absurd dan centang-perenang sehingga menimbulkan berbagai macam krisis.
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
معاشر المسلمين رحمكم الله
Salah satu hari besar Islam yang paling fenomenal dan monumental adalah Idul Fitri. Idul fitri yang berarti kembali kepada fitrah ternyata dalam terminology lebih luas dan itu bisa kita pahami dalam beberapa makna tentang hakikat fitri atau fitrah itu:
Pertama, Fitrah berarti keyakinan akan tauhid yakni telah mengakui Allah sebagai Tuhan sebagaimana Qs. al A’raaf/7 :172
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (172)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Kedua, Fitrah berarti potensi dasar setiap individu manusia yakni potensi fujur (jahat) dan taqwa (baik) sebagaimana Qs. asy Syam/91 : 7- 10
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),(7) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,(8) sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, (9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(10)
Ketiga, Fitrah berarti bawaan sejak lahir dan ia amat sangat tergantung pada lingkungannya untuk menyemainya, sebagaimana riwayat al Bukhari dan Muslim
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يَكُونَ أَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (رواه البخاري ومسلم عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ )
Rasulullah saw bersabda: “ setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah (bersih, suci dan Muslim) sehingga kedua orang tuanya yang menjadikannya penganut yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Secara asketis, Idul Fitri sering disebut sebagai momen penyucian diri kembali pada sifat fitri setiap manusia. Namun, perayaan yang bersifat massif, serentak, dan penuh sukacita itu justru telah menggeser Idul Fitri dari makna transendennya. Di sini, Idul Fitri tidak lagi bermakna perayaan kemenangan dari ritual olah batin dan fisik sebagai laku asketis selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Idul Fitri telah masuk perangkap semiotika dalam berbagai dimensi kehidupan sosial dan kebudayaan kontemporer.
Secara sosial, Idul fitri merupakan saat paling ditunggu-tunggu setiap orang, bahkan oleh narapidana yang berharap mendapat remisi. Idul Fitri juga mampu menggerakkan arus besar migrasi masyarakat urban, bahkan perputaran keuangan saat mudik, berlangsung secara massif sebagai suatu ritual sosial.
Tidak hanya itu, secara subtil Idul fitri mampu mendorong pejabat membuka hati dan pintu rumahnya untuk saling memberi maaf kepada sesama dan kaum papa, dan kini menjadi trensetter silaturahim massal. Sedangkan dalam kebudayaan kontemporer, Idul fitri menjadi ajang munculnya berbagai kebudayaan populer melalui penampakan tren busana yang selalu berganti setiap Lebaran atau hadirnya berbagai ragam musik dan jenis hiburan religius.
Pendek kata, Idul Fitri bukan saja sarat makna asketistik-spiritualistik yang bersifat transenden, tetapi benar-benar tumpah dalam bentangan luas fenomena sosial. Meski demikian, justru di sinilah letak paradoks makna Idul fitri. Jika secara asketis Idul Fitri bermakna penyucian diri yang dirayakan setiap tahun, mengapa bangsa yang mayoritas berpenduduk Muslim ini belum beranjak ke arah penyucian diri sebagai sebuah bangsa?
Nafsu libidinal
Sebagai bangsa yang religius secara jujur harus mengakui, segala dimensi kehidupan kita masih menunjukkan nafsu libidinal yang tinggi terhadap segala bentuk kebutuhan materiil dan imateriil. Dalam sektor politik misalnya, nafsu libidinal imateriil itu mewujud dalam praktik pencitraan atau pembentukan pesona tiada henti sehingga yang tersaji hanya kepalsuan-kepalsuan. Demikian juga dalam sektor sosial, nafsu libidinal menampakkan bentuknya dalam konsumsi gengsi dan corak mode tingkat tinggi sehingga mampu menstrukturisasi kelas masyarakat.
Sementara dalam sektor agama, nafsu libidinal justru gamblang terlihat dalam berbagai simulasi religius sehingga yang muncul adalah spiritualisme artifisial yang semu penuh kepura-puraan. Puncak nafsu libidinal material secara nyata dapat dilihat dalam berbagai praktik korupsi yang belakangan kian merajalela menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nafsu libidinal seakan menyumbat saraf sensitivitas sosial kita. Kita tidak lagi menjadi peka terhadap penderitaan orang lain seperti fakir miskin, korban gempa, atau siapa pun yang kurang beruntung pada perayaan Idul fitri tahun ini. Kepedulian terhadap sesama seakan selesai dan berhenti seiring ditunaikannya kewajiban membayar zakat fitrah pada malam Idul fitri. Kesalehan individual yang dibentuk dalam Ramadhan tidak meluber dalam bentuk kesalehan sosial. Padahal, kesalehan individual seharusnya berdiri sebangun dengan kesalehan sosial. Ketimpangan itu dimungkinkan terjadi karena puasa yang dijalankan bersifat seremonial religius sebatas menahan haus dan lapar. Jika benar, mungkin tepat sinyalemen Rasulullah saw bahwa banyak orang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga, karena intisari dan hikmah puasa belum menyentuh kesadaran paling dalam umat dan belum mampu membentuk pribadi manusia beragama/beriman yang matang, utuh, tangguh, yang dapat mempertautkan kesalehan individu, kesalehan sosial, dan kesalehan lingkungan dalam kehidupan luas.
Ritus peralihan
Falsafah ibadah puasa menegaskan perlunya dilakukan ”turun mesin” kejiwaan selama sebulan dalam setiap tahun. ”turun mesin” merupakan proses meneliti, memeriksa onderdil dan hal-hal yang rusak, serta memperbaiki total.
Saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua harus transparan, akuntabel, rela diperiksa, dikoreksi, dan diperbaiki. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu persatu lalu dilakukan perbaikan.
Karena itu, kegunaan praktis ibadah puasa adalah sebagai titik balik perubahan dan ritus peralihan. Berubah dan beralih dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik sehingga terbentuk kepribadian yang memiliki cara pandang yang inspiratif (membawa ide-ide segar), inovatif (mampu memperbaiki dan memperbarui), kreatif (mampu menciptakan pilihan baru), dan transformatif (dapat mengubah) dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Di sinilah makna keberagamaan yang sehat mewujud karena memiliki kemampuan membawa perubahan hidup yang dinamis, menggugah, dan imperatif.
Allahu akbar, Allahu akbar walillahi alhamdu,
Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, pandangan dunia, dan etos keagamaan baru setelah mengalami turun mesin sebulan adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkan ibadah puasa. ليس العيد لمن لبس الجديد و لكنّ العيد لمن تقوئه يزيد (Laisa al-’id liman labisa al-jadid, wa lakinna al-’idu liman taqwa hu yazid) – ”hari raya Idul fitri bukan bagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang-orang yang takwanya bertambah). Yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan, semangat, dan etos untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial-kemasyarakatan, sosial-politik, berbangsa dan bernegara dengan landasan keagamaan yang otentik.
Nilai-nilai yang mendasar dan tujuan pokok ini sering tidak tampak di permukaan karena tertindih semangat dan sibuknya orang menyiapkan hal-hal terkait puasa berupa sahur dan berbuka pada bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar’iy ibadah puasa, umat Islam selalu dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan sehari-hari dalam masa sebelas bulan mendatang
Demikianlah, khutbah yang singkat ini. Semoga bermanfaat, dan Allah menjaga kita semua sampai akhir hayat dalam keadaan istiqomah di atas agama yang benar dan berakhir dengan khusnul khatimah.
معاشر المسلمين رحمكم الله
Dan akhirnya marilah kita bersama-sama menundukkan hati dan menengadahkan tangan untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah. Kita berharap senantiasa dalam hidayah dan `inayah-Nya. Kita memohon agar negara-bangsa ini segera lepas dari krisis moralitas, saudara-saudara kita yang sedang ditimpa musibah sakit dan bencana diberi kekuatan dan kesabaran, para pemimpin kita diberikan kearifan dan keontetikan dalam bersikap dan bangsa ini selalu dalam kesabaran serta panduan iman dan akal sehat.
الحمد لله رب العالمين حمدا الناعمين حمداالشاكرين حمدا يوافي نعامه ويكافؤ مزيده ربنا لك الحمد كما ينبغي لجلا وجهك الكريم وعظيم سلطانك ,اللهُمَّ صَلِّ وَسَلَّمَ وَبَارِكْ عَلَى إِمَامِنَا وَقُدْوَتِنَا محَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الله، اللّهُمَّ ارْضِ عَنْ خُلَفاَئِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَن الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلى يَوْمِ الدِّينِ، وَارْضِ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. رَبّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا، وَإِنْ لمَ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ. اللّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِينَنا الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتي فِيْهَا مَعَاشُنا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنا الَّتي إِلَيْهَا مَعَادُناَ، وَاجْعَل الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا في كُلّ خَيْر، وَالموتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرّ، يا رَبَّ الْعَالَمِيْن. اللّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ يا رَبَّ العَالَمِيْن! اللّهُمَّ آمِنَّا في أَوْطَانِنَا، وَأَصْلِحْ وَاحْفَظْ أَئِمَّتَنَا وَوَلاةَ أُمُورِنَا،اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، اللّهُمَّ وَفِّقْ الْمُسْلِمِيْنِ إِلى مَا تُحِبُّ وَتَرْضَى يا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ, رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Pendowo asri 27 Ramadan 1439 H_12 Juni 2018
*M.Wiharto,S.Sy.,S.Pd.I.,M.A., adalah Divisi Diklat Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2015-2020); Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (2015-2020)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow