Perubahan Istilah yang Tidak Menyelesaikan Masalah
Oleh: Heru Prasetya *)
BARANGKALI negeri ini memang layak diberi label negeri istilah. Sudah terlalu banyak persoalan yang diselesaikan bukan pada substansi tetapi dengan mengubah istilah. Di kolom ini pada bulan November 2020 saya menulis tentang ralat istilah “new normal”. Istilah tersebut dilontarkan pejabat pemerintah dan akhirnya diralat oleh pejabat lainnya.
Sebenarnya “new normal” untuk mengistilahkan sebuah situasi dan kondisi baru yang harus dilakukan manusia terkait adanya Covid-19. “New normal” bukan kehidupan baru, tapi kebiasaan baru dalam menjalani hidup misalnya harus mengenakan masker, cuci tangan menggunakan sabun setelah memegang/menyentuh benda, dan social distancing alias jaga jarak.
Sayangnya, dengan datangnya istilah “new normal” ada euphoria dalam kehidupan sehari-hari. Seakan-akan semua sudah berjalan normal kembali. Lockdown mandiri yang dilakukan masyarakat di kampung-kampung diminta disudahi. Akibatnya seluruh tempat keramaian yang sebelumnya ramai menjadi ramai kembali tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Misalnya, supermarket, rumah makan, tempat wisata, dan acara-acara yang mendatangkan orang banyak. Mereka lupa (atau pura-pura lupa) bahwa corona masih gentayangan di sekitarnya.
Respon pemerintah sepertinya juga lambat, bahkan terkesan membiarkan. Mengapa? Sektor ekonomi dan pariwisata terlihat hidup kembali, investasi bisa berjalan seperti direncanakan. Tapi apa yang kemudian terjadi? Muncul laporan terjadinya penambahan positif covid. Anehnya, ketika ada pemerintah daerah yang merancang lockdown wilayahnya justru diserang habis-habisan. Gara-gara istilah “new normal” yang dipahami salah kaprah mengakibatkan Covid-19 makin merajalela.
Data dari Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) mengungkap banyaknya warga positif covid dan tingginya tingkat keterisian rumah sakit atau bed occupation rate. Data ini disampaikan Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua KPC-PEN, Rabu 6 Januari 2021.
Ia menegaskan bahwa pemerintah akan memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) se Jawa dan Bali yang dimulai Senin (11/1) hingga Senin (25/1). Pelaksanaannya berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 kepada seluruh kepala daerah di Jawa dan Bali.
Tanggal 8 Januari 2021 dilaporkan ada penambahan kasus sebanyak 10.617 kasus yang merupakan penambahan kasus positif harian tertinggi selama pandemi, sehingga akumulasi kasus Covid-19 Indonesia mencapai 808.340 kasus positif dan akumulasi angka kematian akibat Covid-19 mencapai 23.753 orang.
Perkembangan terkini yang juga perlu menjadi perhatian adalah tingginya tingkat keterisian rumah sakit untuk intensive care unit (ICU) dan ruang isolasi yang sudah lebih dari 90%. Demikian juga angka kematian tenaga kesehatan di Indonesia sangat memprihatinkan. Hingga 3 Januari 2021 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut ada 237 dokter, 15 dokter gigi, dan 171 perawat gugur karena Covid-19.
PPKM adalah istilah baru setelah sebelumnya ada istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Fokus dari PPKM adalah pembatasan kegiatan, sedangkan PSBB mengarah ke pembatasan sosial. Memang beda, tapi ada irisan yang sama. Tujuannya jelas-jelas sama, yaitu mengurangi penyebaran virus corona. Karena itulah lama waktu PPKM dibuat 14 hari, dengan asumsi setelah itu masa inkubasi virus berakhir. Harapannya, Covid-19 mati.
PPKM mengarah kepada kerja kantoran diganti work from home (WFH), jam buka mall dan minimarket pukul 10.00 sampai 19.00, kursi/pengunjung rumah makan dibatasi maksimal 25 persen dari tempat tersedia (untuk makan di tempat), sekolah daring di rumah, kegiatan-kegiatan pengumpulan massa ditiadakan, masyarakat boleh keluar rumah untuk hal yang sangat penting (misalnya belanja) tapi jangan terlalu lama.
Apakah PPKM bisa lebih efektif dibandingkan PSBB? Nah ini masalahnya. PSBB yang lebih ketat saja tidak mampu mengendalikan penyebaran virus, apalagi PPKM. Terhadap hal ini, Muhammadiyah justru mengajak warganya untuk melakukan Gerakan Tinggal di Rumah Saja. Tidak pergi-pergi, cukup di rumah saja. Gerakan Tinggal di Rumah Saja sudah sejak awal dicanangkan Muhammadiyah, meski awalnya dengan tagar lebih simple #dirumahsaja.
Saya melihat belum ada langkah efektif dari pemerintah selaku pengemban amanat menjalankan roda negara untuk betul-betul mematikan langkah gerak si virus. Beberapa negara sudah melakukan lockdown total, menutup pintu masuk negara atas kunjungan orang lain atau orang dari negara lain. Pemerintah masih terkesan antara maju dan mundur, berani dan tidak berani, tidak ada ketegasan, dan akhirnya terlihat ragu-ragu.
Mestinya, sejak awal pemerintah berani menerapkan lockdown. Persoalan bahwa ini adalah negara kepulauan sebenarnya tidak perlu dimasalahkan, karena lockdown bisa dilakukan pemerintah daerah masing-masing. Demi kehidupan warga negara seharusnya pemerintah pusat berani mengambil keputusan yang mungkin saja tidak didukung pemerintah daerah.
Tapi toh ini sudah telanjur dan jumlah positif covid juga telanjur tinggi, sekarang apa yang harus dilakukan? Ketegasan pemerintah dalam menjalan PPKM (atau bisa juga diistilahi PSBB) tetap bisa dilakukan. Kemudian pemberlakuan protokol kesehatan harus dijalankan secara ketat, harus ada sanksi bagi pelanggarnya.
Saya ingat satu kejadian di sebuah supermarket di Yogyakarta beberapa bulan lalu yang memberlakukan aturan wajib masker bagi pengunjung. Ada anak kecil menangis meronta-ronta karena tidak boleh masuk gegara tidak mengenakan masker. Ia dibopong ayahnya (?) menunggu di luar, padahal yang membopong bermasker.
Inilah disiplin ketat demi kemaslahatan bersama. Disiplin tanpa tawar menawar untuk semua, bukan tebang pilih. Berani? Harus berani.
*) Tim Redaksi mediamu.com
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow