Indonesia Tanpa Muhammadiyah?
Oleh Sudibyo Markus
Pertanyaan nakal di US National Security Council
Kunjungan kami menghadap Dewan Keamanan Nasional atau US National Security Council (NSC) di sayap kiri Gedung Putih pada minggu II April 2006 memang di luar agenda. Sehingga sambil antre panjang di tempat itu, kami bertanya-tanya, apa gerangan agenda kunjungan ke US NSC yang di luar jadwal resmi tersebut. Sampai masuk ruangan US NSC, duduk di ruang rapat, sambil menunggu Ketua US NSC, tak seorangpun staf USAID yang mendampingi menjelaskan apa sebenarnya maksud kunjungan kesana.
Muhammadiyah dan Flu Burung
Akhirnya Dr. Holy Morrow, Direktur US NSC, seorang Ph.D studi China yang masih muda, didampingi Dr. Farah Pandit, Ambassador, Utusan Khusus Presiden untuk negara-negara Islam yang berdarah Afghanistan, keluar menemui kami. Keduanya didampingi para penasihat politiknya. Setelah mempertanyakan beberapa hal tentang Muhammadiyah, akhirnya Holy Morrow mengemukakan maksudnya mengundang kami ke kantornya yang di luar jadwal resmi tersebut.
“Apa yang Muhammadiyah dapat kerjakan untuk mengendalikan avian influenza (flu burung) yang kini sedang menyerang Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara?”, tanya Holy Morrow. Untungnya semalam saya dapat SMS dari Bung Amirsyah Tambunan, kalau tak salah waktu itu adalah staf ahli DPR RI, menanyakan apakah Muhammadiyah dapat melatih kader-kader “flu burung” untuk mencegah merebaknya flu burung di Indonesia. Saya belum sempat menjawab SMS Bung Amirsyah Tambunan, tapi jawaban untuknya saya berikan kepada Holy Morrow, bahwa “we are in the process of training hundreds, or probably thousands of avian flu volunteers to combat the widespread of the avian flu”.
Jawaban saya itu cukup menyakinan Holy Morrow, bahwa kami cukup alert dan waspada terhadap ancaman flu burung yang mematikan itu, yang pernah membunuh jutaan orang pada waktu terjadi pandemi di Portugal awal abad ke dua puluh. Diskusi dilanjutkan dengan hal-hal yang bersifat teknis dari ancaman flu burung dan teknis pelatihan relawan Muhammadiyah. Justru yang mengherankan saya, kenapa tiba-tiba Bung Amirsyah Tambunan memiliki firasat untuk kirim SMS semacam itu kepada saya, karena sebenarnya antara saya dan Bung Amirsyah cukup jarang berkomunikasi.
Jawaban atas undangan ke US NSC dan pertanyaan Dr. Holy Morrow akhirnya terjawab ketika pada bulan Agustus 2006, Muhammadiyah diajak oleh Direct Alternative International (DAI), mitra USAID dalam program Avian Flu Control di Indonesia, untuk bertindak selaku mitra lokal DAI dalam melaksanakan program flu burung USAID di Indonesia, tanpa sama sekali harus mengajukan proposal sebagaimana lazimnya. Rupanya keterlibatan Muhammadiyah dalam pelaksanaan program flu burung USAID di Indonesia sudah “didesain” dari Washington.
Indonesia tanpa Muhammadiyah?
Ketika diskusi tentang ancaman flu burung dianggap selesai, Holy Morrow mempersilakan tim ahlinya untuk menyampaikan pertanyaan atau gagasan terkait dengan kunjungan kami. Adalah Prof. Jose Raymond, yang juga seorang guru besar komunikasi dari Universitas John Hopkins di Baltimore, yang tiba-tiba menyampaikan pertanyaan di luar konteks. Prof. Raymond bertanya, “Apa yang terjadi dengan umat Islam dan bangsa Indonesia, seandainya Muhammadiyah tidak pernah didirikan?”
Sungguh pertanyaan yang sama sekali di luar dugaan, karena sangat mengada-ada. Memang Prof. Raymond sudah cukup akrab dengan Indonesia, karena beliau sebelumnya adalah Penasihat Ahli USAID untuk program kependudukan di Indonesia. Beliau cukup paham kiprah Muhammadiyah & ‘Aisyiyah dalam program KB/Kependudukan. Tapi pertanyaan “terbalik” tersebut cukup mengejutkan.
Terkejut dg pertanyaan mengada-ada tersebut, sayapun menjawab spontan dengan mengada-ada juga. “Very likely, sangat boleh jadi, Indonesia telah menjadi negara komunis, atau paling tidak negara sosialis. Atau sebaliknya, kita ini sdh menjadi taliban-taliban yg membawa AK-47 kemana-mana”. Jawab mengada-ada tersebut rupanya cukup dipahami oleh gurubesar komunikasi tersebut.
Sebagai seorang yang sering mewakili Muhammadiyah di berbagai forum international, saya amat sering menghadapi pertanyaan-pertanyaan nakal dan bernada agak “over expektasi” terhadap Muhammadiyah seperti di atas. Walau kekaguman mereka ada dasarnya, mengingat Muhammadiyah yang mereka kenal dan pahami sebagai kekuatan modernist Islam, sebagai Islam moderat dan wasathiyyah atau jalan tengah, sebagai pembangun kelas menengah bangsa dan selalu konsisten dengan pola dan gerak dasarnya sebagai gerakan dakwah dan gerakan kemanusiaan.
Kerjasama dengan Community of Sant’Egidio
Sementara di dunia internasional, Muhammadiyah adalah satu-satunya organisasi keagamaan di Indonesia yang memiliki kerjasama dengan Community of Sant’Egidio, satu organisasi Katolik awam terbesar di dunia yang berkedudukan di Roma. Penandatanganan MOU antara Muhammadiyah dengan Community of Sant’Egidio dilaksanakan pada 28 Februari 2008 di Kantor PP Muhammadiyah di Jakarta, yang dihadiri juga oleh Kardinal Tauran (sudah meninggal dunia), Koordinator Kerjasama antaragama Kepausan di Vatikan. Dr. Valeria Martano, Direktur Community of Sant’Egidio urusan Asia, yang juga anggota Dewan Penasihat Ke-Pausan untuk Dialog Antaragama membenarkan, bahwa Muhammadiyah adalah satu-satunya mitra resminya di Indonesia.
Kerjasama antara Muhammadiyah dengan Community od Sant’Egidio di tingkat internasional juga telah dilaksanakan dalam pendampingan perundingan perdamaian antara pemerintah Filipina dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang telah berhasil membuahkan hasil berupa pembentukan pemerintahan otonom Bangsamoro yang berkedudukan di Cotabato, Mindanao, yang disebut Bangsamoro Autonomous Regional Muslim Mindanao (BARMM). Kerjasama juga dilaksanakan dalam pendampingan terhadap 800.000 pengungsi Rakhine Myanmar di Cox Bazar Banglades selama satu tahun pada tahun 2017.
Berbagai pujian dan harapan tersebut semuanya hanya akan membuat warga Muhammadiyah istiqomah, lebih giat memacu karya-karya kemanusiannya tanpa berharap imbalan wah, melainkan hanya mencari ridlo Allah SWT. Bagi Muhammadiyah, membangun umat dan membangun bangsa adalah SATU KESATUAN. “Kalau bangsa ini tersungkur, Muhammadiyah juga ikut tersungkur,” demikian Prof. Syafii Maarif pernah berucap.
Rombongan kami memenuhi undangan USAID tersebut terdiri atas Ibu Dr. Siti Mutmainah Suhud, Sp.OG. (Wk. Ketua PKU PP Muhammadiyah), Ibu Dr. Atikah M Zacky (Wakil Ketua PP ‘Aisyiyah), Ibu Daricha Yassin (PP ‘Aisyiyah), dan Dr. Sudibyo Markus (Ketua PP Muhammadiyah 2005-2010 Bidang Kemanusiaan dan Kesehatan). (*)
Wakil Ketua Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional PP Muhammadiyah
Dari FB Sudibyo Markus, Sabtu 24 Juli 2021 (disadur ulang dari Facebook 15 Agustus 2018)
Atas ijin yang bersangkutan
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow