Membaca Ilmu Pengetahuan Dr. H. Nur Ahmad Ghojali, M.A. (Wakil Ketua PWM DIY)

Membaca Ilmu Pengetahuan Dr. H. Nur Ahmad Ghojali, M.A. (Wakil Ketua PWM DIY)

Smallest Font
Largest Font

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).

Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca baik teks maupun nonteks.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca. Karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak.

Objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh, kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan.

Tetapi, hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra’ wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).

Wahyu pertama juga diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah SWT mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya.

Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber: Allah SWT.

Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum, subjek dituntut peranannya untuk memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha sang subjek. Misalnya, komet Halley yang memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronom menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati dan mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri.

Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya atau apa yang diduga sebagai “kebetulan” yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, semuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah SWT yang dapat dianalogikan dengan kasus komet tsb.

Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama tersebut.
Ilmu pengetahuan tanpa dilandasi agama akan buta dan agama tanpa dilandasi ilmu pengetahuan akan menjadi lumpuh. Pendapat Einstein ini sangat penting untuk umat beragama karena ilmu pengetahuan yang dikuasai dengan baik akan menjadi bermanfaat bagi manusia berkat adanya tuntunan agama.

Agama akan menjadi pelita yang menerangi pemanfaatan ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan manusia.(Dari beberapa sumber).

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait

Paling Banyak Dilihat