Tirai Pemikiran 6: Makrifat

Tirai Pemikiran 6: Makrifat

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Robby H. Abror *)

Makrifat (ma’rifah) artinya mengetahui. Dalam tasawuf berarti mengetahui nama-nama dan sifat-sifat al-Haqq dalam puncak spiritual yang melalui keajegan dalam bermunajat pada Tuhan dalam diam dan kembali kepada-Nya dalam segala hal. Seorang ahli makrifat (‘arif)telah melewati tiga tahap spiritual, yaitu syari’at (ibadah ritual), tarikat (jalan keinsafan) dan hakikat (kepasrahan dan kebenaran sempurna). Dalam meniti tiga tahapan tersebut seorang ‘arif akan mengalami tiga tingkatan keadaan jiwa. Yaitu, jiwa yang mengendalikan dan memperbudak (al-nafs al-ammarah) yang berada pada kondisi kelalaian (maqam al-ghaflah), jiwa yang selalu menyesali diri sendiri (al-nafs al-lawwamah) yang terdapat dalam tingkat keterjagaan dan taubat (maqam al-yaqzah), dan jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah) yang terdapat dalam tingkat pertemuan (maqam al-wajd).

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Dalam ilustrasi yang lebih sederhana, seorang ‘arif telah mengetahui rahasia dari tiga huruf hijaiyyah jim-ha-kha, yaitu takhalli minal akhlaqil madzmumah  (kosongkan dirimu dari akhlak yang tercela), tahalli bil akhlaqil mahmudah (isilah dirimu dengan akhlak yang terpuji, akhlak yang mulia), dan penampakan diri (tajalli) al-Haqq dalam manifestasi teofaniknya. 

Adapun tentang macam makrifat setidaknya dapat dibagi dua, yaitu yang pertama makrifat al-Haqq, yaitu mengetahui keesaan Tuhan dari nama dan sifat-Nya yang tampak pada makhluk, dan makrifat hakikat yang mustahil dicapai karena manusia tak mungkin mampu meliputi seluruh ilmu pengetahuan. Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya (QS Thaha: 110).

Makrifat menuntut seorang sufi untuk meninggalkan dirinya sendiri karena ia telah dikuasai oleh zikir. Ia tidak menyaksikan selain al-Haqq dan pikirannya tidak kembali kepada selain-Nya. Seorang ahli makrifat (‘arif) adalah ia yang fana (lenyap) semuanya, dirinya kosong dari hal-hal dunia dan akhirat. Seorang arif menyukai tiga hal, yaitu zikir sebagai amal yang paling disukai, segala yang menunjukkan kepada al-Haqq sebagai keuntungan yang paling disukai, dan orang-orang sufi yang senantiasa membersihkan hati dan bermunajat kepada-Nya adalah orang-orang yang paling disukai.

Seorang arif yang telah mengenal al-Haqq akan merasa takut, terkejut dan bingung yang meliputi dirinya yang terus merindu dan telah jatuh cinta kepada al-Haqq. Ia selalu menangisi dirinya dan memuji Tuhannya. Ia telah disinari cahaya keilmuan, sehingga dapat merasakan kehadiran-Nya dalam diri dan kehidupannya, tidak ada bersitan, tiada apa pun yang terbetik dalam hatinya selain dari Allah. Makrifat adalah penyangga agama, sebagaimana keyakinan dan akal yang senantiasa menjaga diri dari bermaksiat kepada Allah dan senantiasa taat kepada-Nya.

Dzunnun al-Misry yang kali pertama membangun dan mengenalkan makrifat sebagai salah satu ajaran tasawuf. Baginya, makrifat itu cahaya yang dipendarkan al-Haqq ke dalam hati seorang ‘arif atau salik. Dengan konsep cinta (mahabbah), al-Haqq adalah Tuhan sekaligus Kekasih para ‘arif yang selalu merindukan-Nya. Dalam Ihya Ulumiddin Syeikh Imam al-Ghazali mengingatkan tentang perlunya penyucian diri (tazkiyah al-nafs) sebagai langkah awal menepis dan melawan sikap keterlenaan dari mengingat Allah (ghaflah). Menempuh jalan taubat dan membersihkan diri dari kotoran-kotoran duniawi, menjernihkan hati agar dapat menuntun seorang ‘arif kepada makrifat. Dengan hati (qalb) dan rasa (dzauq) yang suci, terbukanya (kasyaf) ruhani dan tersingkaplah rahasia-rahasia al-Haqq melalui cahaya pengetahuan tertinggi.

Dalam kitab al-Munqidz min al-Dhalal Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menguraikan pengalaman spiritualnya:

Maka terbukalah bagiku selama dalam khalwat ini banyak hal yang tidak mungkin aku hitung, aku menyebutkannya agar dapat diambil manfaatnya bahwa aku mengetahui dengan keyakinan bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang berjalan (suluk) di jalan Allah swt secara khusus. Bahwa jalan mereka adalah yang terbaik, cara mereka adalah yang paling benar, dan akhlak mereka adalah yang paling mulia. Bahkan, seandainya dihimpun pemikiran para ahli pikir dan hikmah kaum bijak, atau ilmu-ilmu syariat para ulama untuk mengubah jalan dan akhlak mereka, kemudian digantinya dengan yang lebih baik, maka tidak akan pernah terjadi. Sebab semua gerak dan diam mereka, baik saat terang-terangan atau tersembunyi, diambil dari cahaya misykat kenabian. Tidak ada di balik nur nubuat di atas bumi ini cahaya lain yang dapat meneranginya.


 *) Ketua MPI PWM DIY, Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait

Paling Banyak Dilihat