Islam

Islam

MediaMU.COM

May 9, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Hukum Memakan Daging Belut, Inilah Tanggapan Para Ulama

Hukum Memakan Daging Belut, Inilah Tanggapan Para Ulama

MEDIAMU.COM - Belut adalah sumber protein dan gizi. Keberadaannya melimpah, walau seiring dengan berkurangnya sawah, tercemarnya sungai, dan penggunaan pestisida habitat belut berkurang. Permintaan pasar yang tinggi, sebagian masyarakat membudidaya belut sehingga pasokan selalu tersedia.

Asal Usul Belut

Belut merupakan jenis ikan yang termasuk dalam ordo Anguilliformes. Asal usul belut dapat ditelusuri kembali ke era Mesozoikum, sekitar 140 juta tahun yang lalu. Belut dikenal memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap berbagai lingkungan, mulai dari air tawar hingga air asin.

Belut memiliki ciri khas tubuh yang panjang dan licin, mirip dengan ular, namun mereka sebenarnya termasuk dalam keluarga ikan. Terdapat berbagai spesies belut yang tersebar di seluruh dunia, dan mereka memiliki siklus hidup yang unik, di mana beberapa spesies melakukan migrasi jarak jauh dari habitat air tawar ke laut untuk bertelur.

Dalam budaya dan tradisi di berbagai negara, belut memiliki nilai ekonomis dan kuliner yang penting. Di beberapa tempat, belut dianggap sebagai makanan lezat dan menjadi bagian dari hidangan tradisional.

Namun, bagi orang yang belum pernah melihat, apalagi memakannya dipastikan responnya adalah takut atau paling tidak jijik. Rasa jijik juga menimpa sebagian orang yang sudah sering melihatnya. Kedua respon tersebut wajar karena binatang yang berbentuk panjang ini memang berlendir, sehingga susah ditangkap.

Hewan belut sendiri, jika berdasarkan sifat, bentuk dan ciri-cirinya terdapat berbagai nama dalam beberapa literatur kitab klasik yang mengakomodir sifat dan bentuk dari hewan belut ini. Diantaranya adalah Hayyat al-Ma’ (حَيَّةُ المَاءِ), Jirrits (الجِرِّيْثِ), dan Ankalis (الأنْكَلِيْسِ). Berkaitan dengan nama yang terakhir ini, terdapat hadits mauquf dari Sahabat Ali bin Abi Thalib Karrmallahu Wajhahu:

Faktor Penentu Kebolehan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebolehan memakan belut dalam Islam

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebolehan memakan belut dalam Islam meliputi beberapa aspek. Pertama, sumber air tempat belut hidup; apakah air tersebut bersih dan tidak terkontaminasi, sebab hal ini mempengaruhi kehalalan belut.

Kedua, cara penyembelihan; belut harus disembelih dengan cara yang syar'i, yaitu memotong saluran pernapasan dan pembuluh darah utama.

Ketiga, jenis belut itu sendiri beberapa ulama membedakan antara belut laut dan belut air tawar, dengan belut laut cenderung dianggap lebih halal.

Keempat, adanya bahan atau zat berbahaya pada belut, seperti racun atau parasit, yang dapat mempengaruhi kehalalannya. Kelima, kepercayaan dan tradisi setempat; dalam beberapa kasus, kebiasaan dan pandangan masyarakat setempat terhadap konsumsi belut juga dapat mempengaruhi kebolehan memakannya dalam Islam.

Hubungan antara cara penyembelihan dan kehalalan belut

Dalam Islam, cara penyembelihan hewan mempengaruhi kehalalannya. Hewan air seperti belut dianggap halal tanpa penyembelihan khusus berdasarkan beberapa pendapat ulama. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa belut harus disembelih dengan cara yang syar'i agar diperbolehkan. Hal ini terkait dengan apakah belut dianggap mirip dengan ikan, yang tidak memerlukan penyembelihan, atau mirip dengan hewan darat yang harus disembelih. Karena itu, cara penyembelihan belut menjadi faktor penting dalam menentukan kehalalannya.

 فِي حَدِيْثِ عَلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّهُ بَعَثَ إلَى السُّوْقِ فَقَالَ : لَا تَأْكُلُوْا الأَنْكَلِيْسَ هُوَ: سَمَكٌ شَبِيْهٌ بِالْحَيَّاتِ رَدِيْئُ الْغِذَاءِ وَهُوَ الَّذِيْ يُسَمَّى الْمَارْمَاهِيْ . وَإِنَّمَا كَرَّهَهُ لِهَذَا لَا لِأنَّهُ حَرَامٌ

 Artinya, “Dalam Hadits Sayyidina Ali, beliau mengutus seseorang ke pasar kemudian beliau berkata; ‘Janganlah engkau memakan Ankalis.’ Ankalis ialah hewan yang mirip ular yang buruk makanannya, ia disebut juga dengan marmahi (dalam bahasa persia). Sayyidina Ali melarang belut karena faktor ini (mirip ular dan buruk makanannya), bukan karena Ankalis adalah hewan yang haram (dikonsumsi),” (Ibnu Atsir, An-Nihayah fi Gharibil Atsar, [Beirut, Maktabah al-‘Ilmiyyah: 1979 M], juz I, halaman 183). 

Pendapat Para Ulama

Bahkan jika merujuk pada penamaan belut dengan nama hayyat al-Ma’, kehalalan mengonsumsi hewan ini tergolong hukum yang telah disepakati oleh para ulama’, sebagaimana disebutkan dalam redaksi berikut: 

إِنَّ السَّمَكَ لَهُ أَصْنَافٌ مُخْتَلِفَةٌ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ صُوَرِهِ وَمِنْهُ مَا يُقَالُ حَيَّةَ الْمَاءِ لِكَوْنِهِ عَلَى شَكْلِ الْحَيَّةِ يَحِلُّ أَكْلُهُ بِالْإِتِّفَاقِ

 Artinya, “Ikan ada berbagai macam jenis yang berbeda-beda sesuai dengan beragam bentuknya, di antaranya adalah ular air (belut) disebut dengan ular air karena bentuknya mirip ular. Hukum mengonsumsi ular air ini halal berdasarkan kesepakatan para ulama,’” (Syekh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Jawi, Kitab al-Belut, [Kediri, Maktabah Pesantren Lirboyo: halaman 6).

 Banyaknya istilah nama untuk belut dalam berbagai literatur arab klasik ini dikarenakan nama “belut” belum dikenal oleh para ulama zaman dahulu dan merupakan nama yang hanya masyhur di kalangan masyarakat Jawa. Tidak heran jika Syekh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Jawi menanyakan persoalan belut ini pada para gurunya di mekkah yang tidak pernah mengetahui hewan yang dinamai belut. Dalam kitabnya, beliau menjelaskan:

 ثُمَّ أَخْبَرْنَا بَعْضَ مَشَايِخَنَا الأَعْلَامَ وَالْجَهَابِذَةَ العِظَامَ مِنْ عُلَمَاءِ مَكَّةَ المُشَرَّفَةِ أَوْصَافَ الْبَلُوْتِ المَذْكُوْرَةِ وَسَأَلْنَاهُمْ عَنْ حُكْمِهِ فَقَالُوْا إِنْ كَانَ هَذَا صِفَتُهُ فَهُوَ حَلَالٌ لِأَنَّهُ مِنَ الصَّيْدِ البَحْرِيِّ

 Artinya, “Selanjutnya kami menceritakan pada sebagian guru-guru kami yang alim dan tokoh-tokoh arif yang agung dari Ulama’ Makkah al-Musyarrafah, tentang sifat-sifat hewan belut, lalu kami tanyakan tentang hukum (mengonsumsinya), maka mereka menjawab: “jika hewan belut ini (sifatnya sebagaimana yang engkau jelaskan), maka hukumnya adalah halal, sebab tergolong bagian dari binatang buruan lautan” (Mukhtar bin ‘Atharid: 13).

Demikianlah hukum memakan daging belut menurut dari hasil ijtihad para ulama. Semoga artikel Ini bisa memberikan wawasan tambahan tentang hukum memakan ular laut atau belut.

Implikasi dan Rekomendasi

Dampak Konsumsi Belut bagi Umat Islam

Dalam konteks sosial, konsumsi belut oleh umat Islam dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan diskusi di kalangan masyarakat. Hal ini bisa memperkaya pemahaman tentang keberagaman pandangan dalam Islam. Namun, di sisi lain, dapat juga menimbulkan konflik jika tidak disikapi dengan bijak. Dari segi spiritual, memakan belut yang dianggap halal menurut syariat Islam dapat meningkatkan rasa syukur dan kepatuhan kepada Allah.

Sebaliknya, jika belut dianggap haram dan tetap dikonsumsi, hal ini dapat menimbulkan rasa bersalah dan jauh dari nilai-nilai spiritual Islam. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk mencari kejelasan hukum terkait konsumsi belut agar tidak terjadi dampak negatif baik secara sosial maupun spiritual.

Umat Islam sebaiknya bersikap bijaksana dan toleran terhadap perbedaan pendapat dalam masalah konsumsi belut. Penting untuk menghormati pandangan ulama yang berbeda dan tidak menjadikan perbedaan sebagai sumber konflik. Dalam mengambil keputusan, hendaknya berdasarkan ilmu, konsultasi dengan ahli fiqih, dan introspeksi diri. Sikap terbuka dan menghargai keragaman pandangan dapat memperkaya pemahaman keislaman dan memperkuat persatuan umat.

Belut Sawah Halal atau Haram

Belut sawah dianggap halal untuk dikonsumsi menurut sebagian besar ulama dan pandangan Islam. Namun, ada juga sebagian kecil ulama yang berpendapat bahwa belut tidak halal karena dianggap sebagai hewan yang hidup di dua alam (air dan darat) serta memiliki bentuk yang mirip dengan ular. Oleh karena itu, sebaiknya Anda berkonsultasi dengan ulama atau otoritas keagamaan setempat untuk mendapatkan pandangan yang lebih spesifik sesuai dengan mazhab yang Anda ikuti.

Saran bagi Konsumen

Dalam memilih belut yang halal, umat Islam perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, pastikan belut berasal dari sumber air yang bersih dan tidak terkontaminasi. Kedua, periksa apakah belut tersebut memiliki ciri-ciri hewan yang halal menurut syariat Islam, seperti memiliki sisik.

Ketiga, jika belut dibeli dalam keadaan mati, pastikan proses penyembelihannya sesuai dengan tata cara Islam, yaitu dengan menyebut nama Allah saat menyembelih. Keempat, hindari belut yang diolah dengan bahan-bahan haram, seperti alkohol atau bumbu non-halal.

Umat Islam perlu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang hukum halal dan haram dalam Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan mempelajari kitab suci Al-Quran dan hadis, serta mengikuti kajian atau seminar tentang kehalalan makanan.

Selain itu, penting untuk selalu memeriksa label halal pada kemasan produk dan memilih produk yang telah tersertifikasi halal oleh lembaga yang kredibel. Dalam menghadapi perbedaan pendapat tentang kehalalan suatu makanan, hendaknya umat Islam saling menghormati dan tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain.

Kesimpulan

Dalam pandangan Islam, hukum memakan belut dapat berbeda tergantung pada pendapat ulama dan kriteria kehalalan yang ditetapkan. Umat Islam perlu memperhatikan aspek kebersihan, ciri-ciri halal, dan proses penyembelihan dalam memilih belut yang halal. Penting juga untuk meningkatkan pengetahuan tentang hukum halal dan haram serta memilih produk yang tersertifikasi halal. Menghormati perbedaan pendapat dan tidak memaksakan pandangan sendiri dalam isu kehalalan makanan merupakan sikap yang bijaksana bagi umat Islam.

Ingin memperdalam pemahaman tentang hukum Islam, khususnya terkait kehalalan makanan? Kunjungi mediamu.com sekarang juga! Temukan berbagai artikel informatif yang membahas topik keagamaan secara mendalam dan akurat. Klik di sini dan mulai jelajahi pengetahuan Anda bersama mediamu.com - sumber informasi Islam terpercaya!

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here