Tirai Pemikiran 9: Maqamat dan Ahwal

Tirai Pemikiran 9: Maqamat dan Ahwal

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Robby H. Abror *)

Maqamat ialah bentuk jamak mu’annats salim dari maqam yang berarti kedudukan atau derajat. Dalam tasawuf dipahami sebagai kedudukan salik yang meniti jalan spiritual dalam mengintensifkan ubudiyah kepada Allah melalui taubat, taqwa, mujahadah, riyadhah, wara’, zuhud, muraqabah, faqir dan adab. Sedangkan ahwal bentuk jamak dari hal yaitu keadaan, suasana atau perasaan dalam hati seorang sufi yang muncul secara spontan dan langsung karena hak Allah kendatipun tanpa usaha, seperti rasa takut (khauf), berharap (raja’), sedih dan rindu. Kedudukan (maqam) adalah abadi, sedangkan suasana (hal) akan cepat menghilang. Kedudukan diperoleh dengan usaha, sedangkan suasana diturunkan Allah sebagai anugerah ke dalam hati seorang hamba, seperti kilatan cahaya yang datang dan kemudian lenyap.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Jika maqamat diperoleh oleh seorang sufi melalui intensitas ibadah, maka ahwal dirasakan secara psikologis dalam hati secara langsung. Jika maqamat merupakan stasiun-stasiun yang harus ditempuh dan dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) agar dapat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, ahwal merupakan keadaan psikologis para salik yang diperoleh secara langsung dan spontan sebagai anugerah dari al-Haqq. Jika maqamat sebagai keadaan yang bersifat abadi atau permanen, ahwal lebih bersifat kondisional, tentatif atau temporer.

Seorang salik yang berada dalam satu tingkatan atau stasiun (maqam)hendaknya ia menyempurnakannya hingga dapat naik ke tingkat yang lebih tinggi. Ketika berada dalam maqam al-tawakkul yang disyaratkan oleh Al-Kalabadzi maka ia harus menyempurnakannya sebelum naik ke maqam al-ridha. Di antara para sufi terdapat beberapa perbedaan dalam menentukan jumlah tingkatan atau susunan maqamat. Dalam Al-Luma’, Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi memaparkan tujuh maqam yang harus dijalani dan dilalui oleh salik, yaitu: al-taubah, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha. Dalam Ihya’ Ulumiddin, Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan delapan urutan maqam yang dimulai dari al-taubah, al-shabr, al-faqr, al-zuhd, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah hingga al-ridha. Sedangkan dalam Al-Ta’aruf li Madzahib al-Tashawwuf, Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi menegaskan sepuluh tingkatan maqam, yaitu: al-taubah, al-zuhd, al-shabr, alfazqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkul, al-ridha, al-mahabbah dan al-ma’rifah.

Dalam menyebutkan tingkatan spiritual atau maqamat, para sufi tidak menyepakati beberapa maqamat seperti: al-tawadlu’, al-mahabbah, dan al-ma’rifah. Khusus untuk tiga tingkatan tersebut, para sufi kadangkala menyebutnya sebagai maqamat dan ahwal sekaligus, bahkan sebagai ittihad, yakni kesatuan hamba yang telah mencapai kesucian hati dengan Allah, merasa mencintai dan dicintai dalam kesatuan.Para sufi menyepakati beberapa stasiun atau maqam, seperti: al-taubah, al-zuhd, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul dan al-ridha.

Sedangkan tentang ahwal, dalam Al-Luma’, Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi menuturkan ada sembilan, yaitu: al-muraqabah (perasaan senantiasa diawasi oleh Allah), al-qurbah (perasaan kedekatan dengan Allah), al-mahabbah (perasaan cinta kepada Allah), al-khauf (perasaan takut dan cemas hanya kepada Allah), al-raja’ (perasaan harapan hanya kepada Allah), al-syauq (perasaan kerinduan kepada Allah), al-uns (perasaan suka cita dan bersahabat dengan Allah), al-thuma’ninah (perasaan tenang dan tenteram bersama Allah), al-musyahadah (perasaan menyaksikan Allah dengan mata hati), dan al-yaqin (perasaan yakin yang sejati kepada Allah).

Dalam Al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilmi al-Tashawwuf, Abul Qasim al-Qusyairy al-Naisabury memaknai maqam sebagai iqamah, yakni tahapan adab seorang hamba dalam wushul (sampai) kepada Allah dengan usaha yang sungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah)dan latihan ruhani (riyadhah)dengan syarat tidak akan menaiki satu maqam ke maqam yang lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukumnya. Tidak sah untuk berzuhud jika tidak wara’, tidak sah bertaslim jika belum bisa bertawakkal, tidak sah bertawakkal jika belum sepenuhnya qana’ah—Al-Qusyairy mengutip pendapat Muhammad bin Ali al-Tirmidzy bahwa “qana’ah ialah kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan.” Sedangkan tentang hal, al-Qusyairy memahaminya sebagai intuisi dalam hati, tanpa ada unsur sengaja, kondisi ruhani dan perasaan psikologis seorang hamba seperti senang dan sedih, takut, cemas dan penuh harap, sebagai karunia langsung dari Allah. Jika maqam diperoleh dengan upaya perjuangan, hal langsung datang seperti kilatan yang menempati dalam hati kemudian hilang.


*) Ketua MPI PWM DIY, Wakil Ketua Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam (AAFI).

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
MediaMu Author

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait

Paling Banyak Dilihat