Kisah Tongkat Baru dan Tongkat Cantik
Oleh: Erik Tauvani Somae
Orang tua itu tidak pernah melewatkan salat berjamaah di masjid dekat rumahnya. Kala azan berkumandang, langkah demi langkah ia ayunkan pelan-pelan untuk menjaga keseimbangan. Sambil berjalan, kepalanya sering kali menunduk, seolah ia sedang menandai setiap langkahnya dengan zikir. Sesekali memandang ke depan untuk memastikan bahwa jarak tujuan kian dekat.
Ia tidak sendiri. Ada tongkat yang senantiasa menemaninya ke mana pun ia pergi. Tongkat kaki empat. Tanpa tongkat ini, mungkin kenikmatan bisa salat berjamaah di masjid dan bersua dengan para jamaah hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Betapa berharga sebuah kesempatan dan kesehatan bagi kakek usia kepala tujuh ini. Ia begitu bahagia meskipun berjalan harus ditemani tongkat kaki empat. Salat pun jua harus duduk di atas kursi yang sengaja disediakan takmir untuk mereka yang memerlukan. Usia tidak lagi muda, orang sudah maklum. Yang masih muda patut belajar pada kakek ini. Belajar tentang bagaimana memaknai hidup selagi kesempatan dan kesehatan masih lagi di kandung badan.
Jamaah masjid ini banyak pensiunan orang-orang penting. Ada yang pensiunan PNS, hakim, dosen, dan lain-lain lagi. Bahkan ada satu di antaranya adalah tokoh bangsa, sebut saja namanya Buya. Apapun latar belakang mereka, di masjid menjadi sama. Sama-sama sebagai hamba yang kecil di hadapan Allah SWT. Tidak ada yang membedakan mereka, kita, di hadapan Tuhan, kecuali takwa.
Suatu ketika, jamaah masjid ini dibuat galau dengan kebiasaan kakek bertongkat tadi. Tongkat kaki empat yang selalu menemaninya ke manapun ia pergi, dibawanya masuk ke masjid, langkah demi langkah, di atas karpet.
Jamaah masjid ini yang umumnya paham dan sadar tentang fikih ibadah, kepekaan mereka terhadap kesucian dan kebersihan sangat tinggi. Termasuk kegalauan mereka dalam hal ini adalah karena faktor tongkat si kakek yang pastinya telah melanglang buana hingga ke mana-mana.
Siapa yang berani dan sampai hati mengingatkan si kakek? Tidak ada yang menunjuk diri. Bersepakatlah mereka, para takmir, Buya yang akan melakukannya. Sosok yang secara usia lebih tua beberapa tahun dari si kakek di samping juga Buya adalah sosok yang paling ia disegani.
Bagaimana cara untuk mengingatkan si kakek? Apa kata-kata yang pas agar si kakek tidak tersinggung hatinya dan tetap istiqamah salat berjamaah di masjid dengan gembira? Karena kabarnya, si kakek adalah orang yang agak mudah tersinggung.
Keesokan, Buya membeli tongkat kaki empat yang baru buat si kakek. Seusai salat magrib berjamaah, yang biasanya Buya duduk di barisan belakang saat berzikir, kali ini lebih memilih duduk di sebelah pintu keluar. Ada apa gerangan?
Si kakek hendak pulang ke rumah. Saat mendapati Buya yang duduk di sebelah pintu, ia pun berkata:
“Loh, Buya biasanya duduk di sana (sambil menunjuk barisan belakang), kok tumben duduk di sini?”
“Buat nyalami tuan-tuan sekalian.” Jawab Buya
“Oh, begitu to.”
“Oh iya,” lanjut Buya, “ini ada tongkat baru buat bapak. Itu yang cantik (sambil menunjuk tongkat milik si kakek) buat di dalam masjid. Nah, yang baru ini, buat jalan-jalan ke manapun.”
“Ini buat saya, Buya?” tanya si kakek
(Buya mengangguk sambil tersenyum)
“Alhamdulillah, terima kasih.”
Dengan raut muka bahagia, si kakek meninggalkan masjid sambil mencoba-coba tongkat barunya. Sedangkan tongkatnya yang lama ditinggal di masjid.
Secara diam-diam, Buya meminta kepada marbut agar tongkat si kakek tadi dicuci sampai bersih dan selalu ditelakkan di sebelah pintu. Tujuannya, setiap si kakek tadi masuk masjid, maka tongkatnya akan ganti yang bersih.
Akhirnya, kegalauan para jamaah menjadi terobati. Menasihati tanpa menyakiti. Mengubah tanpa menimbulkan amarah.
Itulah kisah tentang tongkat baru dan tongkat cantik. Semoga bermanfaat.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow